Bacaini.ID, KEDIRI – Munawar Muso atau dikenal dengan Muso atau Musso adalah salah satu gembong Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berhasil selamat dari pemberontakan 1926.
Lahir di Pagu Kabupaten Kediri tahun 1897 yang secara geografis tidak jauh dari Blitar, Musso bukan orang baru bagi Soekarno atau Bung Karno. Keduanya sama-sama pernah “nyantri’ di tempat H.O.S Tjokroaminoto di Surabaya.
Musso diketahui lebih dulu aktif di Sarekat Islam (SI) bersama Semaun, sementara Soekarno masih pelajar. Tak heran, saat Musso muncul pada 13 Agustus 1948, Soekarno merasa terharu.
Kangen-kangenan itu berlangsung di ruangan Soekarno yang telah jadi Presiden Republik Indonesia. Keduanya berpelukan erat sebagai kawan lama yang lama tidak bersua.
“Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata,” demikian dikutip dari buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997).
Berpuluh tahun Soekarno dan Musso tidak bertemu. Sejak pemberontakan PKI 1926 gagal, Muso dikabarkan kabur ke Moskow Uni Soviet, dan sejak itu tidak ada kabarnya.
Begitu juga dengan Semaun, Ketua PKI angkatan pertama, juga tidak jelas rimbanya. Pertemuan Soekarno dan Musso sejak Indonesia merdeka adalah yang pertama kalinya.
Dengan roman muka gembira, keduanya tidak heran hanya saling menatapi satu sama lain. Musso diketahui tiba di Indonesia pada tanggal 11 Agustus 1948.
Tokoh PKI asal Kediri itu memakai nama Soeparto, menyamar sebagai sekretaris Soeripno, duta besar Indonesia untuk Eropa Timur.
Kehadirannya sempat menimbulkan kecurigaan banyak pihak, namun dua hari kemudian siapa sekretaris Soeripno yang misterius itu, terungkap.
“Lho, kok masih awet muda?,” tanya Soekarno membuka percakapan.
“O, ya. Tentu saja. Ini memang semangat Moskow, semangat Moskow selamanya muda,” jawab Musso.
Di ruangan itu Musso hendak duduk di kursi yang berjarak dengan Soekarno, tapi Bung Karno memintanya duduk di dekatnya. Bung Karno di depan Soeripno cerita banyak hal tentang Musso dengan nada bangga.
“Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia memang jago pencak. Juga orang yang suka main musik. Kalau pidato ia akan nyincing lengan bajunya”.
Sebelum pertemuan berakhir, Bung Karno meminta Musso untuk membantu memperkuat negara, melancarkan revolusi di republik yang masih berumur 3 tahun.
Musso menjawab dengan kalimat pendek. “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te schepen (saya kemari untuk membereskan),” kata Musso.
Sayang, kangen-kangenan kawan lama yang lama tak bersua itu berakhir dengan pertikaian. Pada 18 September 1948 atau 37 hari pasca pertemuan, Soekarno dan Musso berhadap-hadapan sebagai lawan.
Musso dalam peristiwa Pemberontakan Madiun 1948, berpidato tentang quisling-quisling dan penjual romusha yang dilakukan Soekarno-Hatta.
Soekarno tidak mau kalah. Ia balas dengan pidato: pilih Soekarno-Hatta atau Musso-Amir Sjarifuddin. Musso kalah. Pemerintahan Soekarno dalam waktu singkat berhasil memadamkan pemberontakan Madiun 1948.
Musso tewas dengan cara yang mengenaskan. Tentara republik menembaknya di Ponorogo Jawa Timur, membakar jasadnya dan dipertontonkan di depan rakyat sebagai pengkhianat bangsa dan negara. Begitulah revolusi, memangsa darah dagingnya sendiri.
Penulis: Solichan Arif