Bacaini.ID, KEDIRI – Masih ingat singkong Mukibat? Ketela pohon berukuran akbar yang telah memberi keuntungan ekonomi bagi petani Indonesia.
Singkong mukibat adalah warisan gerakan 1001 yang disemaikan Barisan Tani Indonesia (BTI), sebuah organisasi tani pada masa Pemerintahan Soekarno.
Organisasi BTI yang diketuai Asmoe Tjiptodarsono atau Bung Asmu diketahui lahir 2 bulan sebelum Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta.
Gerakan 1001 merupakan ikhtiar BTI dalam menghadapi ancaman krisis pangan di Indonesia, termasuk melawan wabah tikus dan 7 setan desa.
Dalam cita-cita akbarnya, BTI berusaha memperjuangkan kaum tani sebagai kelas terdepan pembangun peradaban, yang itu bersandar pada traktat pemikiran Soekarno: kaum tani Indonesia adalah sokoguru revolusi.
“Gerakan 1001 adalah cerminan kaum tani tidak hanya melahirkan 1001 jalan, tapi juga 1001 akal untuk meningkatkan produksi dan bersiap menghadapi krisis pangan,” kata Asmu dalam pidatonya di Kongres PKI ke-7 di Jakarta 25-30 April 1963.
Tidak heran, semboyan BTI: Perhebat Pengintegrasian dengan Penelitian terus digaungkan di mana-mana, termasuk di Harian Rakyat dan majalah Suara Tani.
Bertani dengan berbasis riset dan pengetahuan digencarkan dan sekaligus jadi cara baru kaum tani Indonesia dalam membudayakan cara berproduksi.
Di tangan gerakan 1001 BTI, kaum tani Indonesia yang sebelumnya utun dikolaborasikan dengan para ilmuwan tani yang turba ke desa-desa.
Sebanyak 40-an periset turba selama 7 minggu ke desa-desa yang didampingi langsung pimpinan BTI di tingkat kecamatan dan desa.
Hasilnya, salah satunya adalah petani bernama Mukibat asal Ngadiluwih Kabupaten Kediri Jawa Timur yang berhasil melakukan eksperimen ilmiah pada tahun 1961.
Mukibat lahir 1903 di Kediri dan pada tahun 1961 berumur 59 tahun. Ia betul-betul menerapkan falsafah Jawa dalam hidupnya: Ilmu iku ketemune kanthi laku.
Mbah Mukibat mempraktikkan sistem okulasi, yakni menyambung batang bawah singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta) dengan ubi kayu karet (Manihot glaziovii).
Ubi kayu karet sebelumnya dikenal di masyarakat sebagai telo genderuwo, ketela berukuran besar namun tak bisa dikonsumsi lantaran berasa pahit dan beracun.
Mbah Mukibat yang mendapat didikan organisasi barisan tani berhasil mengubah tanaman yang sebelumnya nirfaedah menjadi lebih bermanfaat.
Okulasi yang kemudian dinisbatkan dengan namanya (singkong Mukibat) itu, menghasilkan varietas baru dengan volume sampai 100 kg bahkan lebih untuk setiap pohon singkong.
Sejak itu para petani berlomba-lomba melakukan metode okulasi pada berbagai tanaman. Di antaranya tanaman kangkong rawa diokulasi dengan jeruk sitrun.
Kemudian petani berusaha memutus ketergantungan pada angin dalam pengembangbiakkan tanaman salak dan jagung.
Para petani turun ke sawah dan ladang mengawinkan sendiri bunga jantan dan betina salak tanpa harus menanti kedermawanan angin.
Selain sistem okulasi dengan hasil singkong mukibat, gerakan 1001 BTI juga menemukan varietas padi gogo, padi yang khusus ditanam di kawasan huma yang minim air.
Padi gogo memiliki kelebihan umur panen yang pendek, hasil besar, dan rasa berasnya lebih enak. Padi Gogo merupakan merupakan solusi untuk lahan pertanian yang jauh dari sumber air dan irigasi.
Ketua Umum BTI Asmoe Tjiptodarsono atau Bung Asmu, diketahui mempresentasikan langsung nasi gogo kepada Presiden Soekarno di Istana Negara.
Namun BTI telah menegaskan dan berseu-seru kepada kaum tani Indonesia.
Sebaik apapun inovasi dan sehebat apapun program yang dijalankan, jika kaum tani tidak memiliki tanah atau memiliki tanah tapi sempit, mereka akan tetap melarat.
Sementara itu dalam perjalanannya, sistem singkong Mukibat telah diteliti Universitas Brawijaya pada tahun 1974. Hasilnya produktifitas ubi kayu Mukibat mampu ditingkatkan lebih dari 70 ton per hektar.
Bahkan dengan pemeliharaan intensif satu tanaman singkong Mukibat mampu berproduksi lebih 100 kg dengan umur lebih dari 1,5 tahun.
Lembaga Penelitian Internasional IITA di Nigeria, dan CIAT di Cali Columbia diketahui juga telah mencoba menerapkan sistem Mukibat warisan petani asal Ngadiluwih Kabupaten Kediri ini.
Demikian cerita organisasi kaum tani Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno yang tumpas pasca Peristiwa 30 September 1965.
Penulis: Solichan Arif