Bacaini.id, SURABAYA – Marietje van Oordt (1897-1974) mengenyam masa kecil di Surabaya Jawa Timur yang terkenal memiliki udara panas dan orang-orang berwatak keras.
Karakter Marietje tumbuh dan ditempa oleh gerahnya udara panas tanjung perak. Pada tahun 1914, wajah indo Marietje yang rupawan menghiasi banyak surat kabar dan majalah.
Laporan yang diturunkan jurnalis surat kabar bukan cerita tentang perempuan teladan atau success story yang menginspirasi, melainkan kisah pemburu laki-laki kaya yang berbahaya.
Dengan penampilan anggun dan gaya yang memikat, Marietje sanggup membuat klepek-klepek pejabat pemerintahan, pemilik hotel, toko, hingga pedagang.
Seperti lintah bertemu darah, ia menghisap harta sampai benar-benar ludes dan baru melepas pelukannya. Pada saat itulah para laki-laki yang ekonominya di ambang bangkrut baru sadar telah kemakan tipu daya rayuan.
Publik Hindia Belanda menggambarkan tabiat Maritje sebagai een slechte, slechte vrouw, wanita yang bertindak tanduk sangat buruk.
Sepak terjang Marietje memoroti harta pria-pria kaya bahkan diangkat ke dalam dalam karya sastra roman Het Land van Herkomst (1935), yang ditulis E.du Perron (1899-1940).
“Jejak Marietje van Oordt muncul dalam karya sastra Hindia Belanda,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Marietje dalam beroperasi selalu berkamuflase dengan berganti-ganti nama dan berpindah-pindah hotel. Untuk menaikkan daya pikatnya ia mudah mengaku sebagai keturunan keluarga terhormat.
Marietje pernah mengaku bernama Elly Bronsgeest. Bronsgeest merupakan nama keluarga yang mengadopsinya. Salah satu korban ghostingnya adalah perwira pertama berpangkat letnan satu.
Pada awal 1927, Marietje dengan kemolekannya berhasil memeras seorang pejabat di sebuah hotel di Surabaya. Sebagai barter tutup mulut, ia berhasil merampas uang sebesar 1.000 gulden.
“Wilayah perburuan Marietje tidak hanya di Jawa, ia juga merambah Sumatera, terutama Medan”.
Pada tahun 1930-an, Marietje terlacak pernah bekerja di Hotel de Boer Medan dan diduga menjadi perempuan penghibur. Di hotel itu Marietje bertemu J. Simpson, seorang pekebun Inggris.
Simpson jatuh hati. Pada tahun 1935 keduanya memutuskan menikah dan bertempat tinggal di Singapura. Usia pernikahannya seumur serangga. Keduanya berpisah dan Marietje kembali ke Medan.
Biodata Marietje terungkap sebagai perempuan indo yang sebelumnya sempat mengenyam hidup di kawasan pinggiran. Ibunya anak haram seorang pengacara yang sejak remaja ditolak keluarga.
Penolakan membuatnya terkucil dan memilih bertahan hidup di sebuah kampung. Ayah Marietje seorang Indo yang tidak begitu dikenal. Lantaran tidak ada yang merawat, Marietje kecil dititipkan kepada suster Ursulin di Surabaya.
Pasangan suami istri Bronsgeest yang merasa iba mengadopsi, merawat dan menyekolahkannya. Pada usia 12 tahun, Marietje tinggal sementara di Leger des Heils (Bala Keselamatan) Surabaya karena orang tua asuhnya meninggal dunia.
Marietje kabur pada usia 14 tahun dan tercebur ke dalam dunia prostitusi dan penipuan di Surabaya. Pada tahun 1915 ia menikahi Christiaan Krop, seorang pemangkas rambut di Surabaya dan memiliki seorang putra bernama Chris.
Pernikahan keduanya kandas dan Chris terpaksa dititipkan di panti asuhan. Pada 11 Desember 1917 Marietje diadili di persidangan dengan dakwaan penipuan.
Jaksa menghadirkan 16 saksi dan hakim akhirnya memutuskan Marietje bersalah dengan hukuman dua tahun penjara di rumah tahanan sipil dan militer.
Pada pertengahan tahun 1930-an Marietje menghilang. Ia muncul pada tahun 1938 dan diketahui berkeliaran di Batavia. Marietje menikahi Raden Flip Soedargo, pria Jawa yang bekerja sebagai pegawai kantor pos.
Pasutri itu mengadopsi anak laki-laki bernama Robbie dan sempat tinggal berpindah-pindah di Salatiga, Batavia dan Semarang. Pernikahan Marietje berakhir pada paruh kedua tahun 1945.
Pada tahun 1974 Marietje van Oordt tutup usia. Sebelum meninggal ia sempat diwawancarai jurnalis surat kabar Java Bode di Glodok Batavia. Marietje mengatakan Niemand zorgde voor mijn ziel, tak seorang pun peduli dengan jiwaku).
“Saya bukan seorang perempuan yang buruk, tetapi dunia telah membuat saya begitu. Orang-orang itulah yang telah menginjak-injak saya,” katanya.
Penulis: Solichan Arif