Bacaini.id, KEDIRI – Kediri di masa kini telah memiliki bandar udara (bandara) yang resmi beroperasi.
Aktivasi bandara Dhoho Kediri diketahui ditandai dengan penerbangan perdana rute Jakarta-Kediri. Tepuk sorak menyambut pesawat komersial yang sukses landing dengan mulus.
Warga Kediri dan sekitarnya memang pantas bergembira. Hadirnya bandara Dhoho Kediri yang dibangun dari pundi-pundi pribadi PT Gudang Garam Tbk, mengiringi harapan masa depan sosial ekonomi yang lebih baik.
Keberadaan bandara sekaligus menjadikan Kediri sebagai pusat kebangkitan ekonomi di wilayah Mataraman sisi timur (Kediri, Blitar, Tulungagung, Trenggalek dan Nganjuk).
Begitulah Kediri kekinian. Bagaimana dengan Kediri pada masa silam?
Sejumlah sumber sejarah menyebut, Kediri di masa silam, yakni pada masa pertengahan kekuasaan kerajaan Mataram Islam, pernah menjadi pusat perlawanan Trunojoyo atau Trunajaya (1649-1680).
Trunojoyo diketahui seorang bangsawan asal Sampang Madura dan sekaligus keturunan raja terakhir Madura Barat. Ia juga dikenal sebagai menantu Raden Kajoran, pewaris trah Sunan Tembayat.
Sejak era Amangkurat I (1619-1677) dan berlanjut Amangkurat II (1677-1703), Trunojoyo memilih jalan memberontak. Ia menjadikan wilayah Kediri sebagai benteng pertahanan sekaligus pusat perlawanan terhadap Mataram.
Amangkurat II yang murka mengerahkan pasukan besar-besaran. Pada tahun 1678, penguasa Mataram yang bersekutu dengan VOC Belanda menggempur Kediri.
“Pada Senin 5 September 1678, untuk pertama kali dalam sejarah VOC di Jawa sebuah pasukan Belanda bergerak dari Jepara menuju pedalaman Jawa,” demikian dikutip dari buku Antara Lawu dan Wilis (2021).
Serbuan ke Kediri datang dari segala penjuru. Amangkurat ingin Trunojo dan Kediri digilas habis. Pasukan diketahui bergerak melalui Demak, Grobogan, dan Jipang (sekarang Bojonegoro dan sekitarnya).
Kemudian untuk sampai Kediri, mereka menyusuri lembah Sungai Brantas. Amangkurat sengaja meminta pasukannya untuk bergerak dari sisi Barat dan pedalaman Selatan yang merupakan wilayah mancanegara.
Amangkurat II berpandangan, adanya ekspedisi militer akan membuat mereka yang sebelumnya ragu-ragu akan kembali mengakui kedaulatan Mataram.
“Sunan (Amangkurat II) merasa bahwa perjalanan pasukan melalui distrik-distrik pedalaman akan membuat musuh dan para partisan Kajoran akan mengakui kedaulatan Mataram”.
Pada 28 September 1678 Amangkurat II yang ikut berkuda disamping Anthonio Hurdt, yakni pimpinan pasukan VOC, tiba di perbatasan antara Surakarta dan Madiun.
Pada 5 Oktober 1678 pasukan Hurdt tiba di wilayah Maospati (sekarang Magetan). Mereka menunggu kedatangan pasukan Kapten Francois Tack yang bergerak dari Solo bersama empat kompi.
Kapten Tack diketahui memimpin 214 kepala serdadu VOC dan seribu orang prajurit Jawa. Ekspedisi militer ini juga diiringi 800 gerobak sapi bermuatan logistik atau barang-barang yang dikawal dari Surabaya.
Setelah cukup lama berhenti di wilayah Singkal (Saat ini Nganjuk), pada November 1678, ekspedisi militer yang dipimpin Kapten Tack melakukan serbuan besar-besaran di Kota Kediri.
Semua yang dilewati pasukan gabungan Mataram dan VOC dirampok dan dijarah. Semua bangunan benteng pertahanan Trunojoyo dihancurkan. Dalam waktu relatif singkat koalisi Mataram dan VOC Belanda berhasil menguasai Kediri.
Bagaimana dengan Trunojoyo? Bangsawan Madura itu berhasil meloloskan diri bersama rombongan kecilnya. Trunojoyo ditemani dua istrinya bergerak ke arah Selatan.
Pelarian Trunojoyo berakhir. Ia tertangkap dan digelandang menuju istana Amangkurat II di Surabaya. Kerajaan Mataram memutuskan menghukum mati Trunojoyo dan dilaksanakan pada 2 Januari 1860.
Di hadapan istri Trunojo dan perwira VOC Belanda, Amangkurat II mengotori tangannya sendiri. Dihunusnya keris Kiai Blabar dan ditusukkan ke dada Trunojo hingga tewas.
Begitulah sejarah Kediri yang pernah menjadi pusat pemberontakan terhadap kekuasaan Mataram Islam.
Penulis: Solichan Arif