Bacaini.id, KEDIRI – Memiliki kulit putih atau terang menjadi dambaan hampir setiap perempuan Indonesia. Bahkan bukan hanya kaum perempuan, tidak sedikit lelaki berjiwa metroseksual merasa lebih percaya diri jika berkulit glowing.
Bagi sebagian besar perempuan di Indonesia, mereka menganggap putih sama dengan cantik. Berkulit putih menjadi standar kecantikan. Paketannya: putih, wangi, dan bodi aduhai. Tidak heran segala jenis industri berbau kecantikan (kosmetik) menjadi ladang bisnis yang laris.
Lantas, mulai kapan warna kulit putih menjadi standar kecantikan para perempuan di nusantara? Jawabannya sejak kolonial Hindia Belanda mulai mengembangkan estetika sebagai alat politik rasial.
Peran politik estetika itu lebih banyak diambil oleh istri-istri pejabat kolonial Belanda yang memutuskan hijrah ke Jawa, menyusul suami-suami mereka. Sejarah mencatat, kedatangan mereka merupakan gelombang lanjutan imigrasi yang sebelumnya sempat dilarang.
Sejak larangan imigrasi perempuan Eropa ke Hindia Belanda dicabut, yakni 1869, jumlah perempuan Eropa yang mengunjungi Hindia Belanda terus meningkat. Pada tahun 1880 wanita Eropa yang hijrah ke Nusantara mencapai 481 orang dengan jumlah laki-laki Eropa 1.000-an orang.
Pada saat yang sama, 620 wanita China dan 830 wanita Arab juga memutuskan berimigrasi ke Hindia Belanda. Mereka terpikat kabar Nusantara sebagai negeri yang memiliki peluang besar hidup lebih baik.
Pada tahun 1930, sebanyak 884 wanita Eropa kembali datang ke Hindia Belanda. Jumlah mereka lebih besar dari sebelumnya. Sementara perempuan China dan Arab bertambah masing-masing 646 orang dan 841 orang.
“Walaupun sejumlah perempuan Eropa telah datang ke Hindia Belanda sejak tahun 1620-an untuk menciptakan pemukiman Belanda, mereka menjumpai beraneka masalah dan penyakit sehingga migrasi perempuan awalnya tidak didukung dan bahkan kemudian dilarang (kecuali istri-istri pejabat tinggi kolonial),” demikian dikutip dari buku Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa, Abad XVIII-Medio Abad XX.
Alam Nusantara memang memikat. Namun para perempuan Eropa itu kaget melihat lumrahnya praktek pergundikan di Hindia Belanda, terutama Jawa. Lebih kaget lagi, suami mereka ternyata juga melakukan hal sama.
Pergundikan yang terjadi di kalangan pejabat kolonial Belanda diketahui berawal dari hubungan long distance. Kesepian tinggal di negeri jajahan lantaran istri dan anak bertahan di Negara Belanda, mendorong mereka menciptakan kenyamanan baru.
Dijadikanlah perempuan pribumi sebagai istri simpanan yang populer dengan penamaan ‘Nyai’. Gelombang kedatangan para perempuan Eropa berangsur-angsur mengikis praktek pernyaian di lingkungan para pejabat kolonial Belanda.
Munculah framing “orang kulit putih” miskin yang lahir dari praktek pergundikan dan sekaligus mengancam superioritas putih Eropa. Hal itu membuat para lelaki Belanda khawatir, dan memutuskan kembali ke pelukan wanita satu ras (kulit putih).
“Pergundikan mulai dianggap tidak begitu lagi diminati, dan pria-pria Eropa pun tak lagi terdorong untuk menyimpan Nyai,” kata Scholten Locher dalam Women and The Colonial State: Essays on Gender and Modernity in The Netherlands Indies 1900-1942.
Tidak berhenti di situ. Untuk mempertegas superiotas Eropa di atas negeri jajahan, kolonial Belanda memainkan politik rasial estetik, yakni terutama dengan menonjolkan kecantikan perempuan Eropa sebagai standar baru.
Warna kulit putih dimunculkan sebagai pembeda tubuh sosial. Propaganda kulit putih wanita Eropa menggeser citra kulit terang (sawo muda) yang sebelumnya simbol kecantikan ideal perempuan Jawa sebagaimana dituturkan dalam kisah Ramayana.
Kolonial Belanda mengonstruksi penanda keeropaan sekaligus menampilkannya secara kasat mata. Para perempuan Eropa didorong untuk menegaskan kecantikan Eropa di atas keelokan pribumi jajahan.
“Terutama para perempuan Belanda terdorong menghiasi diri dan keluarga dengan artefak-artefak budaya sebagai Eropa. Mereka tidak hanya menonjolkan warna kulit putih sebagai simbol kecantikan nan agung,” tulis Ann Stoler dalam Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th Century Colonial Cultures (1989).
Kolonial Belanda mempraktekkan politik rasial estetiknya secara kaffah. Mereka menyiapkan para perempuan Eropa sejak dini dan menyeluruh. Sebelum menginjak tanah Hindia Belanda, para perempuan Eropa dibrefing tata krama Eropa.
Mereka harus lihai menampilkan sopan santun kelas menengah Eropa serta kepantasan kolonial. Para perempuan Eropa dicetak tidak mempertontonkan kemarahan saat terjadi masalah dan tidak mudah melontarkan cacian.
Di hadapan kaum jajahan, para perempuan Eropa harus senantiasa memperlihatkan tindak tanduk yang bijak dan terkendali, terutama saat menghadapi pembantu: harus tenang, jaga diri, tak pernah marah, selalu tegas, dan lebih unggul.
Prestise orang kulit putih di Hindia Belanda menjadi alasan utama dibalik tabiat para perempuan Eropa yang senantiasa terlihat terkendali dan pantas. Perempuan cantik adalah perempuan berkulit putih yang berperilaku halus dan kalem, dan itu menjadi komoditas budaya kecantikan di Hindia Belanda.
“Itu karena beban untuk menjunjung prestise orang kulit putih terletak di pundak mereka (perempuan Eropa),” tulis Ann Stoler.
Sejarawan Onghokham dalam artikelnya “Show Kemewahan, Suatu Simbol Sukses”, menyebut komoditas kecantikan Eropa tersebut tidak hanya dikonsumsi orang Eropa dengan tujuan menjaga prestise mereka sebagai penjajah.
Komoditas budaya estetik Eropa juga dikonsumsi orang Indo campuran, China, serta priyayi pribumi baru (aristokrat dan birokrat Jawa). Mereka menjalankan kebudayaan Eropa itu demi memajukan karier, prestise, serta status sosial politik mereka.
Dalam perjalanannya, konstruksi politik rasial estetik Eropa di Hindia Belanda semakin mendapatkan bentuknya. Warna kulit putih sebagai simbol kecantikan wanita diperkokoh framing media massa terbitan era kolonial.
Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (1885-1935), De Locomotief (1864-1956), dan Java Bode (1852-1957) membuat lembar khusus perempuan dengan produk iklan kecantikan yang mengambil foto atau gambar perempuan Kaukasia disertai teks penanda bahwa mereka adalah kecantikan yang ideal.
“Terbitan-terbitan era kolonial ini tak syak lagi menyediakan bukti berlimpah tentang representasi perempuan Kaukasia sebagai ideal kecantikan dalam wacana kecantikan yang dominan,” tulis L. Ayu Saraswati dalam buku Putih, Warna Kulit, Ras dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2017).
Begitulah hal ikhwal alasan kenapa sebagian perempuan di Indonesia menganggap berkulit putih sebagai standar kecantikan.
Penulis: Solichan Arif