Bacaini.ID, KEDIRI – Bakso bukan makanan asli Nusantara namun menjadi salah satu ikon kuliner Indonesia yang populer.
Tidak ada yang lebih Indonesia dari semangkuk bakso panas, kuah gurih mengepul, ditemani es teh manis di meja warung bakso pinggir jalan.
Bakso berasal dari bahasa Hokkien ‘bak-so’ yang berarti daging giling dan masuk ke Nusantara melalui imigran Tionghoa sejak masa kolonial, abad ke-17 atau ke-18.
Awalnya dibuat dari daging babi, bakso bertransformasi memakai daging sapi atau ayam untuk menyesuaikan dengan mayoritas masyarakat Muslim.
Saat itu bakso dibuat secara rumahan, lalu mulai dijual keliling oleh pedagang Tionghoa.
Pada era Orde Baru, bakso makin populer karena murah, cepat, dan bisa dimodifikasi sesuai selera daerah.
Muncul varian lokal seperti Bakso Malang yang memakai pangsit, tahu, gorengan. Ada juga Bakso Solo atau Wonogiri yang melimpah sayurannya.
Lebih modern lagi Bakso Beranak yang berisi telur atau daging di dalam bola bakso besar.
Bakso Aci ala Sunda terbuat dari tepung kanji, tanpa daging.
Menurut data dari Kementerian Perdagangan RI, pada 2022 pasar kuliner bakso di Indonesia tumbuh 7% setiap tahun.
Hal itu menandakan popularitas bakso terus meningkat.
Bakso berubah menjadi makanan rakyat, hadir di pasar, pinggir jalan, dan gerobak keliling. Makanan yang murah, cepat, dan mengenyangkan.
Serupa ramen di Jepang yang menjadi makanan populer untuk semua kalangan.
Dari pinggir jalan ke mimbar politik
Bakso yang menjadi makanan rakyat paling populer di Indonesia, diam-diam telah menjadi alat komunikasi politik yang efektif.
Setiap musim kampanye, politisi mendadak doyan mampir ke warung bakso.
Duduk di bangku plastik atau kayu, menyuap bakso dengan gaya sederhana tapi penuh strategi.
Setiap gambar atau video yang tersebar menyajikan sebuah pesan: “Saya ini dari rakyat, makanannya juga sama.”
Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) kerap terekam makan bakso saat blusukan ke berbagai daerah.
Semangkuk bakso, makanan sederhana, menjadi momen pencair suasana yang cepat dipublikasikan di media sosial dan media massa.
Bakso yang makin populer keberadaan di masyarakat Indonesia, menjadi salah satu alat politik pencitraan para politisi yang sedang berebut hati rakyat.
Menjadi ‘merakyat’ adalah ritual dalam politik Indonesia, dan bakso kerap jadi properti utama dalam ritual itu.
Presiden Jokowi dan Ganjar Pranowo saat menjabat Gubernur Jawa Tengah dikenal sukses memanfaatkan citra makan bakso untuk menunjukkan kedekatan dengan rakyat.
Dalam sebuah kesempatan, Ganjar Pranowo pernah berkata, “Saya ingin rakyat tahu saya tidak sekadar pemimpin di balik meja, tapi juga bisa makan bareng mereka di warung sederhana.”
Ganjar juga dikenal kerap membayar pembeli di warung bakso sebagai bentuk apresiasi langsung kepada rakyat.
Di tingkat lokal, calon legislatif dan kepala daerah banyak yang menggunakan trik traktir bakso sebagai strategi kampanye.
Menurut survei Litbang Kompas 2023, 65% responden mengaku lebih mudah mengenal calon pejabat yang ‘merakyat’ lewat aktivitas sederhana seperti makan bersama di warung.
Bakso dipilih bukan hanya karena rasa atau harga, tetapi sebagai simbol netral yang mampu menembus batas sosial, agama, dan budaya.
Ia mewakili kesederhanaan dan kerakyatan dengan penyajiannya yang seadanya: gerobak kecil,mangkuk plastik, dan sendok aluminium sederhana.
Di Indonesia, selain bakso, nasi bungkus dan sembako juga menjadi alat komunikasi politik.
Momen makan bersama di warung sederhana menjadi ritual politik yang memperlihatkan kedekatan dan empati secara visual.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif