Bacaini.id, MALANG – RS Hermina di Kota Malang, Jawa Timur membantah pihaknya menolak menangani pasien gawat darurat yang berujung meninggal dunia pada Senin 11 Maret 2024 malam.
Wahyu Widianto, warga Jalan Bareng Tenes, Kecamatan Klojen Kota Malang diketahui meninggal dunia setelah tidak mendapat penanganan medis dengan alasan bed penuh.
Wakil Direktur RS Hermina Kota Malang, Yuliani Ningsih menegaskan tidak ada penolakan. Pihaknya telah memberikan pelayanan pemeriksaan terhadap pasien kritis tersebut.
”Dokter kami saat itu tidak berseragam juga tidak mengenalkan diri. Tapi sudah memeriksa. Hasilnya, saat itu pasien sudah dalam kondisi koma dan perlu penanganan segera di rumah sakit lain,” terang Yuliani pada awak media, Selasa (12/3/2024).
Wahyu Widianto tiba di RS Hermina dengan diantar becak. Kondisinya kritis. Karena alasan bed penuh, pihak keluarga hanya menginginkan mendapat penanganan kegawatdaruratan.
Namun permintaan itu juga ditolak. Wahyu akhirnya dibawa ke RSSA dengan ambulans relawan, dan sesampai di lokasi petugas medis RSSA menyatakan yang bersangkutan sudah meninggal dunia.
Kasus pasien kritis ditolak rumah sakit dan berakibat meninggal dunia itu sontak viral di media sosial.
Yuliani menjelaskan, pada saat pasien tiba di RS Hermina, pihaknya sudah menyiapkan bed dan peralatan medis. Namun lantaran kemungkinan terjadi miskomunikasi, pasien sudah keburu dibawa ke RSSA.
”Waktu sudah dibawa ke RSSA itu, bed kita sudah naikkan posisinya di lift,” terangnya.
Yuliani mengakui telah terjadi miskomunikasi dengan keluarga pasien. Namun pihaknya tidak pernah menolak penanganan pasien seperti kabar yang beredar. ”Kami sudah melakukan penanganan sebagaimana mestinya, memang agak nunggu karena kondisi bed kami penuh,” ungkapnya.
Sementara Eliana Widyana Putri, anak korban mengaku masih merasa sakit hati dengan pernyataan pihak RS. Pihak keluarga merasa tidak mendapatkan pelayanan pemeriksaan seperti yang telah disampaikan.
“Saya sendiri yang komunikasi sama RS, katanya gak ada bed. Saya dilihatkan semua, tirai-tirai do IGD itu dibuka memang penuh semua. Waktu itu ya gak ada penanganan sama sekali. Kakak saya yang memangku ayah saya di becak kok,” ujarnya.
”Kata kakak saya, memang ada petugas yang periksa, gak berseragam. Tapi cuman periksa pupil mata sama denyut jantung, tanpa stetoskop. Itu aja dia gak bilang apa-apa, langsung pergi gitu aja. Yang ngecek saturasi aja dari relawan kok,” imbuhnya.
Saat itu, karena melihat bed penuh, dirinya berharap rumah sakit bisa menangani ayahnya meski dalam kondisi duduk atau di ruangan lain. Namun pihak RS tetap enggan dan beralasan bahwa penanganan harus menggunakan bed karena terkait jantung.
”Saat itu yang bikin lama dan waktunya habis itu ya debat di situ, minta diperiksa duduk juga gak dituruti. Suruh buat surat dulu, kelamaan akhirnya ditolong sama relawan dilarikan ke RSSA itu,” terang Eliana.
Eliana meyakini ucapannya terkait komunikasi dan pelayanan rumah sakit yang buruk. Ia menyayangkan atas perlakuan rumah sakit yang berada di wilayah perkampungan mereka tersebut.
”Gak nyangka segitunya perlakuannya. Saksinya saat itu juga banyak yang ikut ke sana. Setelah dengar komentar rumah sakit tadi, terus terang saya tetap sakit hati,” tegasnya.
Penulis: A. Ulul
Editor: Solichan Arif