Bacaini.id, KEDIRI – Hanya Soekarno atau Bung Karno yang tidak pernah mencicipi kejamnya penjara alam Boven Digul, Papua.
Sejumlah tokoh pergerakan Indonesia seperti Hatta, Sjahrir, Haji Misbach, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ali Archam dan seabrek pentolan SI Merah dan Partai Komunis Indonesia (PKI) generasi awal, pernah merasakannya.
Sebelum dilayar ke Banda Neira, Hatta dan Sjahrir cukup lama merasakan ganasnya nyamuk malaria Digul. Sementara Soekarno diasingkan ke Ende, Flores Nusa Tenggara Timur, tempat di mana ia kelak mendapat ilham pemikiran yang mendasari lahirnya Pancasila.
Bung Karno dituding telah meminta ampun kepada kolonial Belanda dan berjanji meninggalkan gelanggang politik jika diampuni.
Tudingan Soekarno merengek-rengek meminta ampun kepada Belanda sontak menggemparkan. Tudingan itu muncul dalam opini media massa tahun 1980 yang ditulis oleh Rosihan Anwar.
Anwar dalam menyusun opininya memakai sumber buku Road To Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934 (Jalan ke Pembuangan-Gerakan Nasionalis Indonesia, 1927-1934) John Ingleson.
Sejarawan Australia itu mengutip empat salinan surat Bung Karno kepada Jaksa Agung Hindia Belanda. Surat yang diyakini ditulis Soekarno itu tersimpan dalam arsip Belanda dan terdaftar sebagai Laporan Pos Rahasia 1933/1276.
Yang sedikit ganjil, surat-surat itu bukan tulisan tangan, melainkan ketikan. Kemudian juga tidak dibubuhi tanda tangan Soekarno, namun Ingleson tetap meyakini keasliannya. Sarjana asing Lambert Giebels juga percaya surat itu asli.
Dasar yang dipakai adalah berita acara hasil interogasi ahli hukum Belanda kepada Soekarno saat ditahan di penjara Sukamiskin, Bandung. Pokok-pokok yang menjadi pertanyaan interogasi yang ditandatangani Soekarno masih tersimpan dan selama interogasi Soekarno sudah bertobat.
Tidak semua tokoh intelektual di Indonesia mempercayai kebenaran surat itu. Salah satunya datang dari Mahbub Djunaidi, seorang sastrawan, jurnalis, sekaligus mantan Ketua Umum PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) pertama (1960-1967).
Mahbub meragukan keaslian surat-surat Bung Karno, dan menurutnya perlu dilakukan pemeriksaan mendalam sehingga diperoleh kebenaran yang sebenarnya.
“Apakah surat-surat itu otentik? Apakah bukan ciptaan kaum intel yang sering punya bakat besar mengarang kisah fiktif ? Pabrik cerita-cerita macam begitu memang kadang-kadang diperlukan untuk tujuan tertentu,” kata Mahbub Djunaidi seperti dikutip dari buku Bung Karno Antara Mitos Dan Demitologi.
Mahbub Djunaidi memberi contoh ulah intel Belanda saat berlangsungnya sidang terakhir Kongres NU di Surabaya tanggal 19 Oktober 1927. Intel Belanda diperintah menyusup sekaligus membuat catatan yang lantas disimpan di Koloniaal Archief Geheim Mailrapport 261/X/28.
Isi catatan itu juga diragukan kebenarannya sebagaimana surat minta ampun Soekarno kepada Jaksa Agung Belanda.
“Betulkah ada pembicara dalam kongres itu yang berkata: Mereka yang menyalahgunakan Agama untuk urusan politik, pantas dibuang saja ke Digul, habis perkara?,” tanya Mahbub Djunaidi.
Keraguan akan keaslian empat surat Bung Karno tertanggal 30 Agustus, 7, 21 dan 28 September 1933 itu juga datang dari Anwar Luthan, seorang pensiunan pejabat tinggi Departemen Penerangan RI.
Menurutnya banyak hal penting yang perlu mendapat jawaban jelas sehingga kebenaran bisa dipertanggungjawabkan.
Mohammad Roem, mantan Menteri Luar Negeri sekaligus mantan Wakil Perdana Menteri era Soekarno juga mempertanyakan keaslian surat-surat itu. Ia ragu Soekarno sendiri yang menulis atau mengetik surat-surat itu. Pada sisi lain ia juga menemukan beberapa kesalahan dalam bahasa Belanda yang digunakan.
“Karena itu hendaknya dicari surat-surat Bung Karno yang asli, agar dapat diperiksa, apakah benar surat itu dengan tanda tangannya dapat dipertanggungjawabkan kepada Bung Karno sendiri,” kata Moh Roem seperti dikutip dari buku Bung Karno Antara Mitos Dan Demitologi.
Reaksi paling keras datang dari Inggit Garnasih, istri kedua Bung Karno yang paling erat berkomunikasi selama Proklamator RI itu dipenjara di Sukamiskin. Pada 27 September 1980 Inggit sudah berusia 94 tahun dan Mahbub Djunaidi menemui di rumahnya Jalan Ciateul No.8 Bandung.
Mahbub membantu membacakan tulisan yang menuding Bung Karno meminta ampun kepada Kolonial Belanda. Apa yang terjadi? Wajah Inggit seketika mengeras sekaligus memperlihatkan sorot mata tajam. Inggit gusar.
Ia spontan tidak mempercayai tulisan itu. Bagi Kus, kata Bu Inggit yang lebih suka memanggil Bung Karno dengan Kusno, sikap minta maaf kepada penjajah adalah pamali. Inggit dengan tegas menyatakan sama sekali tidak mempercayai kabar itu. Baginya itu mustahil.
“Itu omongan aneh! Baru sekarang ini ibu dengar! Ini bininya, tidak akan main selingkuh. Tidak akan ada yang disembunyikan. Jangan menulis yang semau-maunya,” tegas Inggit dalam buku Bung Karno Antara Mitos Dan Demitologi.
“Kusno itu lelaki langlanging jagad. Sayang Mr Sartono sudah meninggal, dia tahu persis apa yang sebenarnya terjadi,” tambahnya.
Penulis: Solichan Arif