Bacaini.ID, KEDIRI – Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan keahliannya dalam seni “keadilan selektif”. Pondok Pesantren Al Khoziny yang ambruk dan menewaskan 63 santri akan dibangun kembali dengan dana APBN sebesar Rp125,3 miliar.
Pembangunan ulang Ponpes Al Khoziny Sidoarjo ini telah masuk tahapan groundbreaking oleh Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar, pada Kamis, 11 Desember 2025.
Menurut Muhaimin, nilai pagu yang digunakan untuk membangun pondok melalui APBN senilai Rp 125.314.778.000, dengan masa pengerjaan 210 hari dan masa pembersihan 180 hari.
Pengerjaan pembangunan ulang ini ditangani langsung oleh pekerja dan kontraktor dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Rencananya, bangunan baru Pesantren Al Khoziny terdiri dari 5 lantai asrama dan tempat pendidikan. Bangunan ini juga dilengkapi sebuah masjid 4 lantai.
Langkah ini menuai beragam reaksi dari masyarakat yang disampaikan melalui media sosial. Mereka menanyakan kembali komitmen pemerintah untuk mengusut tuntas insiden ambruknya bangunan pondok yang menewaskan 63 santri.
Tak sedikit yang menilai polisi lebih memilih jalur spiritual dengan tidak ada tersangka, tidak ada penyelidikan mendalam, hanya doa dan pembangunan ulang.
Hal ini berbanding terbalik ketika mereka mengusut insiden terbakarnya Gedung Terra Drone. Aparat langsung bergerak cepat dengan menahan Direktur Utama Terra Drone, Michael Wisnu Wardana sehari setelah kebakaran. Sebanyak 22 orang tewas dalam insiden ini.
Pengamat sosial Rocky Gerung melontarkan kritik tajam atas fenomena ini. Melalui akun media sosial Instagram @rocky_gerung_ ia menulis komentar satir, “Kasus kebakaran terra drone, ga sampai 24 jam sudah ada tersangka pemilik perusahaan. Kasus pesantren yang menewaskan puluhan santri eh sampe sekarang nggak ada berita tersangkanya siapa”.
Komentar kritis pun berkelindan di media sosial. Berikut beberapa cuplikannya:
“Santri dapat surga, pondok dapat APBN, aparat dapat tepuk tangan. Lengkap sudah bagiannya.”
“Kalau gedung swasta terbakar, direktur ditahan. Kalau pondok ambruk, gedungnya ditahan APBN.”
“Hukum kita memang kreatif: bisa jadi arsitek, bisa jadi pemadam, tapi jarang jadi hakim.”
“Nyawa santri dianggap ringan, tapi reputasi perusahaan dianggap berat. Prioritas negeri ini memang unik.”
Komentar tersebut menggambarkan sikap mereka terhadap hukum yang bukan sekadar tajam ke bawah dan tumpul ke atas, tapi juga lentur sesuai selera.
Penulis: Hari Tri Wasono





