Bacaini.ID, KEDIRI – Syok culture atau gegar budaya jadi penyakit yang menjangkiti para pemuda Indonesia yang belajar di Eropa.
Sepulang dari Belanda banyak dari mereka mengalami perubahan gaya: kementhus, belagu, sok ke-Belanda belandaan. Di lingkungan asalnya merasa paling hebat.
Para orang tua mencemaskan mereka akan kehilangan jati diri. Belanda sebagai negara menimba ilmu pun dipertimbangkan.
“Keengganan terbesar pada orang tua Islam untuk mengirimkan anak-anaknya ke Negeri Belanda adalah bahwa dengan tinggal bertahun-tahun di sana, mereka akan terlalu di-Eropakan,” demikian dikutip dari buku Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Awal abad ke-20 jumlah orang Indonesia yang belajar ke Belanda, meningkat.
Banyak orang tua berharap anak-anak mereka bisa belajar bahasa Belanda lebih baik. Juga memiliki orientasi pengetahuan lebih luas.
Sebagian besar dari mereka adalah kalangan keluarga bangsawan. Anak-anak raja, putra-putra priyayi Jawa yang berangkat ke Belanda dengan merogoh kocek sendiri.
Mulai Hamengkubuwono IX, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir hingga Tan Malaka. Kemudian putra Sultan Kutai, putra dan adik Sultan Asahan.
5 putra Susuhunan Surakarta (Solo) juga belajar ke Belanda. Menimba ilmu di institut swasta atau belajar secara privat.
Baginda Djamaloedin bin Moh Rasad menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Pertanian di Wageningen pada tahun 1903.
Disusul Raden Hoesein Djajadiningrat setahun berikutnya. Hoesein kuliah di Universitas Leiden Belanda untuk belajar bahasa-bahasa Timur.
Pengecualian Soekarno. Bung Karno bersekolah di Jawa. Dididik HOS Tjokroaminoto dan berlanjut ke ITB Bandung. Ia tidak pernah mencicipi pendidikan Belanda.
“Tjokroadikoesoemo, putra Bupati Magelang juga masuk dalam kategori ini,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Pada tahun 1907, rombongan orang Indonesia yang datang ke Negeri Belanda untuk belajar bertambah 20 orang.
Keluarga Paku Alam Yogyakarta memiliki andil besar. Yang paling terkenal Noto Soeroto. Selama 25 tahun memainkan peran penting orang Indonesia di Negeri Belanda.
Orang-orang Indonesia di Belanda memiliki tempat kumpul bersama. Mereka membentuk perhimpunan untuk memandu yang baru tiba.
“Rumah guru bahasa Jawa bagi para pangeran Solo yang bernama Sastropradoto di Leiden jadi pusat pertemuan yang nyaman”.
Sementara para orang tua di Indonesia (Hindia Belanda) mulai cemas melihat perubahan perilaku anak-anak mereka.
Bukan hanya soal agama. Di mata para orang tua, mereka terlihat terlalu di Eropakan. Termasuk meremehkan lingkungan asal.
“Para pemuda itu lalu mulai membayangkan diri dalam segala hal lebih hebat dari lingkungannya yang lama. Dan sesudah kembali ke tanah air menjadi asing dengan lingkungannya,” tulis Dr A. A Fokker dalam Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Fokker berpendapat ‘penyakit’ itu bisa diobati dengan memberi pengetahuan tentang sikap nasional.
Gaya ke-Belanda belandaan adalah imbas pergaulan di lingkungan Belanda, termasuk pengaruh hidup ngekos pada keluarga Belanda.
Fokker sempat mengusulkan pembangunan masjid untuk para mahasiswa di Belanda, namun tidak terealisasi.
Sementara di satu sisi pemerintah kolonial Belanda gencar berpropaganda pentingnya belajar di Negara Belanda.
Sepulang dari Belanda juga dijanjikan akan langsung bekerja di pemerintahan.
Hal itu untuk mengimbangi pendidikan ke Istambul, Turki yang bisa diperoleh secara gratis. Pada tahun 1907 tercatat 24 orang Indonesia belajar ke Istambul.
Kolonial Belanda khawatir mereka membawa gagasan-gagasan Islam yang berbahaya.
“Karena kenyataanya boleh dikata semua orang Indonesia yang kembali ke Indonesia (dari Belanda) bekerja pada pemerintah,” demikian dikutip dari Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.
Penulis: Solichan Arif