KEDIRI – Berkah di kala pandemi dirasakan oleh sebagian orang. Termasuk dirasakan oleh Yuliantoro. Bisnis kerajinan sabut kelapa yang sudah dilakoninya sejak tahun 2018, dia katakan lebih berkembang pesat di masa pandemi ini.
Gagal menjadi peternak burung puyuh, dengan desakan ekonomi, warga desa Besuk Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri ini banting setir menjadi pengrajin sabut kelapa atau sepet. Limbah sepet memang mudah dijumpai di desanya, dan biasanya hanya digunakan sebagai bahan bakar untuk tungku. Berbekal browsing di internet, Yuliantoro mulai membuat pot dari bahan sepet.
Yuliantoro mengatakan mendapat ide untuk membuat pot dari sepet ini karena kepepet. Ternak burung puyuh yang digeluti sebelumnya gulung tikar karena flu burung. Semua ternak mati meninggalkan hutang yang begitu besar. Kegagalan menjadi pelecut semangat dirinya untuk berani mengambil pilihan.
Saat itu dengan modal awal sebesar 600 ribu, Yuliantoro bisa membuat 300 buah pot dengan model bulat, setengah bulat dan kotak. Saat itu 150 pot dititipkan di tempat temannya dan 150 lainnya dijual olehnya sendiri. “Tahun 2018 itu, saya titip di tempat teman di Malang, setengahnya lagi saya jual keliling di Kediri,” cerita Yuliantoro. Siapa sangka, dalam waktu satu bulan pot buatannya ludes, laku terjual.
Mulai saat itu usaha “Kawoel Sepet” milik Yuliantoro semakin berkembang. Ada dua model pot sepet yang diproduksi, yaitu pot gantung dan pot tempel. Untuk pot tempel tidak memerlukan lahan yang luas, bentuknya biasanya cone dengan ukuran besar dan kecil. Sementara pot gantung modelnya lebih beragam, ada model bulat, setengah lingkaran, kotak dan juga persegi delapan.
Memasuki masa pandemi, Kawoel Sepet mengalami peningkatan permintaan. Permintaan datang dari sejumlah wilayah diantaranya Malang, Surabaya, Ponorogo, Madiun, hingga Banyuwangi. “Baru-baru ini kami juga mulai kirim ke wilayah Jawa Tengah seperti Solo, Klaten, Yogyakarta sampai Semarang,” sebutnya.
Saat sebelum pandemi, Yuliantoro mengaku melayani permintaan hampir 10000 sampai 15000 pcs. Namun saat masa pandemi ini permintaan bisa mencapai 20000 pot per bulan. Yulianto mengatakan untuk harga pot ini juga bervariasi tergantung tingkat kerumitannya.
“Untuk bentuk standar sekitar Rp 8 ribu sampai Rp 15 ribu. Sedangkan untuk yang besar saya jual dengan kisaran harga antara Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu, tergantung model yang dipesan,” kata Yuliantoro.
Menurut Yuliantoro, masa pandemi ini menjadi berkah tersendiri untuk usahanya. Dia mengatakan omset naik hingga 100%. Sebelumnya omset penjualan per bulan bisa mencapai Rp 40 juta. “Saat pandemi ini bisa dikatakan lebih meningkat tajam,”tambahnya.
Tidak berhenti di situ, saat ini Yuliantoro mulai mengembangkan bisnis kerajinan sepet miliknya. Mulai dari peralatan rumah tangga, matras dan juga jok mobil. Bahkan Yuliantoro mengatakan adanya permintaan untuk membuat tempat tidur kesehatan dengan bahan yang sama, sabut kelapa atau sepet.
Berkah pandemi ini secara tidak langsung juga dirasakan para pekerja yang ada di rumah yang juga sebagai tempat produksi kerajinan sepet ini. Untuk tenaga kerja Yuliantoro memang memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di sekitar rumahnya.
Sebelumnya Kawoel Sepet memiliki 8 karyawan, saat pandemi ini karyawan sudah mencapai 18 orang. “Pekerjaan bisa dilakukan di rumah masing-masing dengan target 30-40 pot bulat dan setengah lingkaran setiap harinya, dikerjakan dengan sistem Amati Tirukan Modifikasi kita bilang ATM,” jelas Yuliantoro.
Kawoel Sepet melayani pembelian ecer dan juga grosir, pembatasan minimal untuk grosir ditetapkan untuk menjaga stabilitas pasar. Proses pemasaran dilakukan secara online dan juga konvensional untuk daerah dengan jarak tertentu.(Novira Kharisma)