Bacani.ID, KEDIRI – Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menuai sorotan setelah sebuah video memperlihatkan dirinya makan di restoran mewah usai meninjau lokasi banjir di Aceh Tamiang dan Kota Langsa.
Sikap ini menunjukkan kegagalan strategi komunikasi pejabat publik saat berupaya mendapatkan empati masyarakat.
Dalam situasi bencana, strategi komunikasi pejabat publik seharusnya menekankan empati langsung, kesederhanaan simbolik, dan konsistensi narasi. Gestur sederhana seperti makan bersama pengungsi, ikut membantu distribusi logistik, atau mendengarkan cerita korban jauh lebih kuat membangun kepercayaan dibandingkan menampilkan gaya hidup mewah.
baca ini: Menko Pangan Zulkifli Hasan Makan Mewah Saat Kunjungi Korban Banjir Aceh
Namun prinsip ini diabaikan oleh Zulkifli Hasan, yang memiliki makan di restoran mewah usai meninjau lokasi banjir di Aceh Tamiang dan Kota Langsa.
Kontras dengan Kondisi Rakyat
Banjir besar di Aceh telah memaksa ribuan warga mengungsi. Di tengah kondisi darurat tersebut, tindakan pejabat yang menampilkan kemewahan dianggap tidak selaras dengan penderitaan masyarakat. Publik menilai sikap Zulhas sebagai bentuk ketidakpekaan, bahkan tone-deafness terhadap suasana.
Dalam komunikasi politik, simbol dan gestur sering kali lebih kuat daripada pidato resmi. Ketika masyarakat sedang berjuang, tindakan kecil seperti makan nasi bungkus bersama pengungsi bisa membangun kepercayaan. Sebaliknya, gestur mewah justru merusak legitimasi moral pejabat.
- Berikut rekomendasi strategi komunikasi yang disarankan dalam situasi bencana.
- Menunjukkan empati langsung dengan duduk bersama pengungsi atau relawan.
- Menghindari simbol kemewahan dan memilih gestur sederhana.
- Menyampaikan narasi konsisten yang menekankan solusi dan tindak lanjut.
- Mengelola dokumentasi media sosial agar fokus pada interaksi manusiawi, bukan gaya hidup elit.

Kasus ini memperkuat persepsi publik bahwa sebagian pejabat masih gagal memahami pentingnya simbol empati dalam komunikasi politik. Di era media sosial, visual yang dianggap tidak peka dapat lebih cepat merusak citra dibanding laporan kerja teknis.
Penulis: Hari Tri Wasono





