Bacaini.id, BLITAR – Sebanyak 17 tersangka kasus penganiayaan santri di salah satu pondok pesantren Kabupaten Blitar yang berujung kematian, tidak ditahan lantaran berusia anak-anak.
Perlakuan hukum yang terjadi di wilayah hukum Blitar diketahui berbeda dengan di wilayah Kabupaten Kediri, yakni di mana pelaku kekerasan di pesantren, langsung ditahan.
Peristiwa kekerasan di pondok pesantren Tahsinul Akhlak Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar, berlangsung pada 7 Januari 2024. Korban M Ali Rofi (13), meninggal dunia di ruang ICU RSUD Ngudi Waluyo Wlingi.
Pada Selasa (2/4/2024), pihak Polres Blitar telah melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Blitar. Bersama pelimpahan berkas, pihak keluarga korban menuntut aparat hukum untuk menahan para tersangka.
“Kami meminta agar 17 tersangka tidak dibiarkan bebas tapi ditahan,” tegas Yoyok Budi Utomo (44) ayah M Ali Rofi kepada wartawan.
Santri M Ali Rofi tewas setelah mendapat perundungan fisik oleh teman-temannya sesama santri. Peristiwa yang berujung kematian itu terjadi di dalam pesantren.
Sebagai orang tua yang telah kehilangan anak, Yoyok merasakan adanya ketidakadilan hukum. Para pelaku yang telah merenggut nyawa anaknya, faktanya tetap beraktivitas normal.
Menurut Yoyok, rasa ketidakadilan itu juga dirasakan oleh warga Desa Pandanarum, Kecamatan Sutojayan, yakni khususnya di lingkungannya bertempat tinggal.
Dengan tidak adanya penahanan ia justru khawatir akan memicu tindakan main hakim sendiri kepada tersangka oleh teman-teman anaknya yang merasa keadilan tidak ditegakkan.
“Karenanya demi kebaikan bersama kami minta para tersangka ditahan,” ujarnya.
Mashudi, kuasa hukum keluarga korban Rofi menambahkan, , dari 17 tersangka hanya satu anak yang dapat terhindar dari penahanan lantaran masih berumur 13 tahun. Sedangkan sisanya berusia 14 tahun dan 15 tahun.
Sesuai hukum peradilan anak, kata Mashudi seharusnya aparat hukum melakukan penahanan setelah yang bersangkutan ditetapkan tersangka.
“Alasan kepolisian tidak melakukan penahanan karena ada yang berusia 13 tahun. Tapi setelah dicek, hanya satu saja yang berusia 13 tahun,” ungkapnya.
Mashudi menegaskan, kliennya merasa terlukai rasa keadilannya. Sebab para tersangka tetap menghirup udara bebas. Mereka tetap menjalani aktivitasnya dengan normal.
Mashudi juga menyoroti penanganan perkara yang terkesan lamban. Penyidikan kasus dan penetapan tersangka sudah berlangsung hampir 3 bulan lalu, namun baru Selasa (2/4/2024) berkas perkara dinyatakan lengkap.
“Penanganannya terkesan lambat. Kita bandingkan kasus serupa penganiayaan santri di Kediri. Kasus di Kediri malah sekarang sudah masuk persidangan,” ungkap Mashudi.
Sementara Kepala Kejaksaan Negeri Blitar Agus Kurniawan mengatakan juga tidak melakukan penahanan kepada 17 tersangka. Langkah yang diambil jaksa sama dengan langkah kepolisian.
Agus juga menjelaskan, berdasarkan hukum peradilan anak, polisi dan jaksa dilarang menahan anak yang berhadapan dengan hukum jika ada jaminan dari pihak keluarga.
Dalam peristiwa penganiayaan di pesantren Blitar yang berujung kematian itu, masing-masing keluarga tersangka dan pihak pondok pesantren, telah memberikan jaminan.
“Sama seperti pihak kepolisian, kami tidak akan menahan para tersangka yang masih anak-anak,” ujar Agus.
Sebagai perbandingan. Kasus kekerasan berujung kematian yang terjadi di salah satu ponpes di Mojo Kabupaten Kediri mendapat penanganan hukum yang tegas. Santri Bintang Balqis Maulana (14) diketahui tewas setelah dianiaya santri seniornya.
Meski berusia anak-anak, 4 pelaku kekerasan di lingkungan pondok pesnatren itu langsung ditetapkan tersangka dan ditahan. Pengadilan Negeri Kediri juga sudah menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara kepada pelaku.
Penulis: Solichan Arif