Bacaini.id, KEDIRI – Kegiatan belajar di sekolah kembali dimulai. Keramaian di luar gedung sekolah kembali terlihat, termasuk mengerubuti penjual kue rangin.
Kue rangin adalah jajanan abadi. Sejak dulu sampai sekarang kuliner yang diolah dari tepung beras ini tak pernah kehilangan peminat. Rasa dan bentuknya juga selalu konsisten, setengah bundar menyerupai perahu dengan taburan gula pasir di atasnya.
Secara visual kue rangin mirip pukis, namun lebih kecil. Loyang cetakannya juga hampir sama, terdiri dari deretan logam cekung untuk mencetak adonan yang dipanggang di atas bara api. Selain gurih dan manis, kue rangin menjadi favorit anak-anak sekolah karena harganya yang murah.
Meski bertahan di tengah gempuran zaman, keberadan penjual rangin masih bisa ditemui. Di Kota Kediri, salah satunya adalah Makmun. Makmun adalah perantau dari Bandung yang hijrah di Kediri sejak tahun 2001. “Saya tinggalkan anak istri di Bandung. Di sini jualan rangin,” katanya kepada Bacaini.id, Minggu, 14 November 2021.
Berjualan rangin, menurut Makmun, tak seperti dulu. Meski tetap memiliki pelanggan, namun jumlah peminat kue rangin makin hari makin menurun. Membanjirnya jajanan pabrikan yang dijual murah di sekolah menjadi faktor terbesar tergusurnya kue rangin. “Justru yang beli kebanyakan orang dewasa, mungkin nostalgia jajanan tradisional,” tambah Makmun.

Kue rangin memang pernah merajai bisnis kuliner jalanan pada medio 1990-an. Saat itu penjual kue rangin nyaris ada di depan gerbang sekolah. Ada yang membawa kotak dengan dibonceng sepeda angin, atau dipikul seperti yang dilakukan Makmun saat ini.
Cara pembuatan kue rangin yang mudah memang tak membutuhkan banyak peralatan. Adonannya terbuat dari tepung beras, santan kental, santan cair, garam, gula pasir, telur dan kelapa muda parut. Adonan itu sudah dipersiapkan di rumah kos Makmun di Kelurahan Ngadisimo.
Jika ada pembeli, adonan itu dituang ke atas cetakan kue rangin. Kemudian dipanggang di atas api kecil hingga benar-benar matang. Agar tidak lengket, permukaan loyang diolesi mertega atau minyak goreng.
Dikatakan matang setelah teksturnya mulai kering di bagian pinggir. Warnanya pun berubah coklat. Jika sudah demikian, buru-buru adonan itu diangkat dari cetakan dan membiarkan bagian dalam rangin dalam kondisi lembek.
Rasa kue rangin original adalah gurih asin. Bagi yang menyukai rasa manis, bisa menambahkan taburan gula putih halus di atasnya. “Saya persilahkan pembeli menambahkan gula sendiri,” kata Makmun.
Kue rangin dibuat hanya jika ada pembeli. Sebab kue ini terasa nikmat jika disantap dalam kondisi hangat atau panas. Harganya masih murah, Rp 500 per pcs. Biasanya pembeli memesan Rp 5.000 untuk 10 pcs.
Dimulainya kembali kegiatan sekolah memberi harapan bagi Makmun. Murid-murid adalah konsumen terbesarnya.
Selama pandemi berlangsung dia terpaksa memikul dagangan keliling kampung. Biasanya dia beristirahat di Pasar Pahing sebelum berjalan lagi menuju rumah kosnya untuk makan siang dan istirahat.
Selepas Dhuhur Makmun kembali berkeliling ke arah berbeda. Biasanya dia berhenti di area pasar Gudang Garam hingga menjelang Maghrib. Sejak ditinggal anak-anak, pembeli kue rangin lebih banyak ibu-ibu. Sehingga dia lebih memilih berjualan di pasar.
Omzetnya juga anjlok. Jika sebelum pandemi dia bisa membawa 8-9 kg adonan, kini hanya membawa 4 kg saja. “Semoga semuanya kembali normal, saya bisa memboyong keluarga ke Kediri,” katanya.
Penulis: Novira Kharisma
Editor: HTW
Tonton video: