Bacaini.ID, BALI – Mendung tampak menebal saat roda kendaraan melintasi lantai paving pelataran parkir wisata Desa Adat Penglipuran di Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Cuaca yang sebelumnya terang tiba-tiba berubah redup. Gunung Batur dari kejauhan hanya terlihat badan, kaki dan lereng. Kabut menyelimuti puncaknya.
“Wah kayaknya bakal hujan deras”. Berjalan menuju lokasi tiket wisata yang berjarak beberapa meter dari parkir, kami mulai main tebak-tebakan dalam hati.
Kalau mengacu kebiasaan cuaca di Bali dalam tiga hari terakhir, bisa jadi tebakan tidak meleset. Kecuali angin mendadak berhembus kencang.
Kami melihat sebuah kafe bernuansa bambu. Kalau hujan tidak terkendali, setidaknya bisa ngopi di situ sembari berteduh.
“Oke, hujan tidak lagi jadi ancaman perjalanan”.
Siang itu Desa Penglipuran tampak ramai. Buka hari pertama 30 Maret 2025 pasca pelaksanaan Hari Raya Nyepi (29-30 Maret), wisatawan domestik dan asing langsung membanjir. Ditambah liburan lebaran Idul Fitri, kunjungan kian padat.

Kami beruntung tiba lebih awal sehingga tidak perlu susah payah mengantri lama di depan loket pelayanan tiket wisata yang terlihat bersih.
Tidak ada sampah berceceran. Tempat sampah juga mudah untuk ditemukan. Pantaslah kalau mendapat predikat desa terbersih di dunia.
Terlihat perempuan petugas wisata berbaju adat Bali melayani tiket. Dua orang untuk turis domestik, dan dua lainnya meladeni turis asing.
Memang benar kata banyak orang. Perempuan Bali kalau sudah mengenakan baju adat, auranya beda. Kata orang, kharismanya muncul.
“Pakai kendaraan apa pak?,” tanya salah satu petugas memastikan jumlah pesanan tiket dan kendaraan. Seorang perempuan muda.
Untuk masuk wisata Desa Adat Penglipuran, wisatawan domestik berumur dewasa dikenakan tiket masuk sebesar 25 ribu.
Ada tambahan Rp 2 ribu untuk ongkos parkir roda dua atau Rp 5 ribu untuk kendaraan roda empat pribadi. Untuk turis asing, biaya berbeda.
Bukan hanya di Desa Penglipuran. Hampir seluruh lokasi wisata di Bali diketahui menerapkan pengelolaan tiket masuk dan ongkos parkir kendaraan terpusat.
Pengelolaan jadi satu tentu lebih efektif, efisien dan aman dari ancaman kebocoran.
Ini berbeda dengan wisata di Jawa Timur. Ambil contoh wisata Pantai Serang dan Pantai Serit Kabupaten Blitar. Pembayaran tiket masuk dan parkir dikelola terpisah.

Di Desa Penglipuran obyek wisata yang dijual adalah peninggalan sejarah masa lampau: fisik dan narasi tentang Kerajaan Bangli.
Mulai bangunan rumah, Pura peribadatan, perkakas meja kayu panjang, payung, busana, bisa terintip dari balik pintu model jeruji yang terkunci.
Perkampungan adat Penglipuran diketahui sudah ada sejak abad-14 silam atau 700 tahun lalu, yakni pada masa Kerajaan Bangli, Bali.
Secara etimologis, Penglipuran berasal dari kata pengeling pura yang berarti ingat kepada tanah leluhur. Hadiah raja kepada orang-orang yang berjasa dalam pertempuran melawan Kerajaan Gianyar.
Versi lain diterjemahkan pelipur lara atau tempat penghiburan. Konon, Raja Bangli kerap ke Desa Penglipuran untuk melakukan semedi.
Versi lebih luas menyebut, Desa Penglipuran pecahan dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Lantaran jaraknya yang jauh, Kerajaan Bangli menyediakan peristirahatan sementara untuk orang-orang Bayung Gede.
Tempat itu diberi nama Kubu Bayung yang kelak berubah nama menjadi Desa Penglipuran. Sebab orang-orang Bayung Gede pada akhirnya memutuskan menetap.
Mereka juga mendirikan tempat suci sendiri yang diberi nama Kahyangan Tiga.
Semua narasi cerita sejarah tentang Desa Penglipuran ini diperoleh wisatawan yang datang bersama guide tour danbiasanya turis asing.
Tidak heran, para turis domestik yang berkunjung ke Desa Penglipuran terlihat hanya jalan-jalan, foto-foto dan termasuk kepentingan konten.
“Bisa jadi para turis domestik ini banyak yang tidak tahu sejarah Desa Penglipuran,” celetuk seorang teman.

Dari kawasan rumah adat, wisatawan dituntun mengikuti jalan menuju hamparan hutan bambu yang berujung pada Pasar Penglipuran.
Ada sekitar 7 pedagang yang menjual jajanan tradisional khas Bali, di antaranya Tipat Cantok (kupat sayur) dan Laklak atau di Jawa semacam kue apem.
Uniknya, alat transaksi yang dipakai adalah potongan bambu segi empat dengan nilai Rp 5 ribu dan Rp 10 ribu. Untuk berbelanja wisatawan harus menukarkan terlebih dahulu.
Kemudian satu sama lain pedagang dilarang menjajakan dagangan yang sama.

“Pasar bambu ini bukanya hanya hari Sabtu dan Minggu, semuanya warga Desa Penglipuran,” tutur Nengah Santini, salah satu pedagang pasar bambu Desa Penglipuran.
Penulis: Solichan Arif