Bacaini.ID, KEDIRI – Guling di Indonesia memiliki nilai yang bukan sekedar piranti di atas tempat tidur.
Tidur dengan memeluk guling telah menjadi tradisi dan ikon Indonesia yang bahkan dibanggakan oleh Presiden Soekarno atau Bung Karno.
Dalam biografi Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), Cindy Adams menceritakan bagaimana Presiden Soekarno dengan bangga menggambarkan guling sebagai cerminan identitas budaya Indonesia.
“Orang Indonesia hidup dengan getaran perasaan, kami adalah satu-satunya orang di dunia yang memiliki jenis bantal yang hanya digunakan untuk berpelukan,” kata Soekarno.
Dikutip dari Java Private Tour, kehadiran guling di Indonesia sebenarnya berasal dari Eropa yang dibawa oleh tentara, pejabat maupun warga Belanda pada abad ke-19.
Fungsinya sebagai teman tidur. Orang-orang Belanda yang berpenghasilan lebih, mengusir rasa sepinya dengan menikahi warga lokal atau mencari hiburan lain.
Namun bagi yang berpenghasilan pas-pasan dan memilih hidup sendiri, memeluk guling adalah obat pengusir rasa sepi yang tidak mengenakkan.
Itulah alasannya guling kemudian disebut “Dutch Wife” atau istri Belanda.
Sebutan yang sebetulnya olok-olok kepada orang-orang Belanda yang tak mampu membawa istrinya ke Hindia Belanda.
Guling mampu memberi rasa nyaman dan hangat. Hingga kemudian budaya tidur memeluk guling itu diadopsi warga lokal sekaligus jadi perangkat tempat tidur yang digemari.
Mengakarnya budaya tidur memeluk guling di masyarakat Indonesia begitu kuat, hingga guling menjadi benda yang wajib ada saat rebah di atas kasur, termasuk di hotel.
Guling menjadi fitur andalan industri perhotelan di Indonesia, sebagai salah satu ciri khas budaya.
Dari resor mewah di Bali hingga hotel bersejarah di Jawa, guling menjadi teman wajib dari bantal, dan keberadaannya mampu memikat pengunjung asing.
Menjadi pengalaman baru bagi para wisatawan mancanegara tidur dengan memeluk guling. Guling tak hanya memberi pengalaman fisik bagi yang pertama menggunakannya.
Selain merasakan tidur dengan posisi yang nyaman, guling bisa memberi terapi emosional sebagai pelipur lara, seperti pelukan hangat.
Jadi, tidak heran Presiden Soekarno kemudian membanggakan guling sebagai budaya Indonesia, sebuah gambaran kehangatan dan keramahtamahan khas Indonesia.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif