Bacaini.ID, KEDIRI – Tradisi tutur di lingkungan suku Dayak Kalimantan memiliki fungsi menjaga warisan leluhur.
Bertutur dalam suku Dayak menjadi sebuah seni lisan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Menjembatani mitos penciptaan hingga nasihat leluhur.
Bagi suku Dayak tutur bukan sekedar bercerita. Ada cermin kearifan, identitas dan jiwa komunal dalam setiap tutur yang diucapkan.
Tutur memperkuat ikatan budaya dan spiritualitas, menyelami kekayaan nilai-nilai yang terjaga selama berabad-abad.
Dalam kesenian Bekana dan Bedudu tutur Dayak memuat cerita, pesan bijak, dan ritual lisan untuk menjaga keharmonisan masyarakat dan hubungan dengan leluhur.
Bekana, Tradisi Tutur Suku Dayak Desa dan Dayak Seberuang
Bekana atau Engkana merupakan seni tutur yang memuat cerita legenda dan pesan-peaan bijak.
Bekana sering kali mengandung nilai-nilai moral, kearifan lokal, dan pengetahuan tentang alam, leluhur, atau asal-usul suku.
Kisah ini disampaikan dalam bentuk lisan oleh tetua atau tokoh adat, sering kali dengan gaya penceritaan yang puitis dan simbolis.
Mengajarkan generasi muda tentang identitas budaya, hukum adat, atau hubungan dengan alam dan roh.
Tradisi tutur Bekana telah didokumentasikan sebagai film oleh pegiat film lokal Kalimantan, Deny Sofian, di awal tahun 2025 dengan judul ‘Bekana, Para Penutur Terakhir’.
Bekana lazimnya dilakukan pada momen-momen khusus seperti:
• Upacara Adat
Misalnya, dalam ritual Tiwah, upacara kematian untuk mengantar roh ke alam baka, atau Gawai, syukuran panen.
• Pertemuan Komunal
Di balai adat atau rumah panjang (lamin), tetua adat atau pemuka masyarakat berkumpul untuk berbagi cerita, sering kali di malam hari di sekitar api unggun.
• Inisiasi atau Pendidikan
Bekana digunakan untuk mengajarkan generasi muda tentang hukum adat, nilai-nilai moral, atau cara hidup harmonis dengan alam.
• Pelaku Tradisi: Tetua Adat atau Tukang Cerita
Penutur Bekana biasanya adalah orang yang dihormati, seperti tetua adat, dukun, atau tokoh yang dianggap memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah dan mitologi Dayak.
Tradisi Bekana semakin memudar tidak hanya karena mandeknya regenerasi penutur, namun juga generasi muda yang tidak memahami bahasanya.
Bedudu, Seni Tutur Hiburan Penuh Makna
Berbeda dari Bekana yang dilakukan lebih formal, Bedudu dalam masyarakat suku Dayak lebih diingat sebagai seni tutur yang menghibur.
Seni tutur Bedudu biasa dilantunkan dalam Gawai, syukuran panen, dan menjadi bagian dari religi sekaligus hiburan masyarakat adat.
Bedudu merupakan rangkaian teks lisan yang dilantunkan seorang penutur untuk kemudian dibalas oleh penutur lain.
Bedudu biasa dilantunkan oleh dua sampai dengan enam orang dalam satu kelompok. Satu rangkaian teks lisan biasanya memiliki tema tersendiri.
Misalnya, Bedudu dimulai dengan sanjungan, maka lawan main akan membalas dengan sanjungan. Seperti berbalas pantun.
Demikian seterusnya, sampai topik yang dibahas semakin berkembang.
Bedudu dilantunkan dengan beragam tema seperti sanjungan, memberi nasihat, menyindir, bahkan mencari jodoh.
Bedudu akan berhenti jika sudah tidak ada yang bisa membalas syair.
Bedudu biasa dilakukan setelah makan malam hingga pagi oleh laki-laki dan perempuan Dayak Desa yang berusia muda hingga berusia
lima puluhan.
Orang berusia lebih dari itu biasanya akan sungkan dan malu untuk mengikuti seni tutur ini.
Perubahan suara, pelafalan, dan ketahanan napas akan berpengaruh pada penampilan.
Berbeda dengan Bekana yang dilantunkan dengan nada yang tinggi, lantunan suara dan lagu dalam Bedudu berada pada nada rendah walaupun cara merangkai teks lisan menunjukkan pola yang sama.
Para penutur Bedudu mendapatkan keahlian seni tutur ini secara otodidak. Mereka mengandalkan ingatan untuk bisa melantunkan bedudu.
Saat ini, seni tutur Bedudu dapat dikatakan lebih jarang dipertunjukkan daripada seni tutur Bekana.
Ini berkaitan dengan beberapa ritual adat yang memerlukan pelantunan Bekana dalam pelaksanaannya.
Sedangkan Bedudu berada pada ranah hiburan pada saat Gawai berlangsung.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





