Ringkasan Berita
- 6 desa adat di Indonesia yang tetap lestari hingga kini
- Tip atau tata cara mengunjungi desa adat Nusantara
Bacaini.ID, KEDIRI – Keberadaan desa adat menjadi benteng tradisi sekaligus penjaga kearifan leluhur di tengah gelombang modernisasi.
Utamanya di Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan ribuan suku yang masing-masing menyimpan cerita unik.
Dari rumah kerucut yang menyapa awan di Flores hingga pemakaman misterius di tepi Danau Batur, desa-desa adat menawarkan lebih dari sekadar pemandangan.
Desa adat ini menyimpan jiwa masyarakat Nusantara yang tak lekang zaman.
Wae Rebo, Flores, Nusa Tenggara Timur
Wae Rebo, dengan julukan ‘Desa di Atas Awan’, tersembunyi di Pegunungan Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Terletak pada ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut, desa ini sering diselimuti kabut, menciptakan suasana magis yang seolah terputus dari dunia modern.
Wae Rebo hanya memiliki tujuh rumah adat berbentuk kerucut, disebut Mbaru Niang, dengan atap ijuk dan struktur kayu yang dirancang untuk menampung beberapa keluarga.
Bentuk rumah ini melambangkan kebersamaan dan harmoni suku Manggarai dengan alam.
Setiap tahun, warga menggelar upacara Penti, ritual syukur atas hasil panen yang dipenuhi tarian tradisional, nyanyian, dan doa kepada leluhur.
Untuk mencapai Wae Rebo, pengunjung harus trekking selama 3-4 jam melewati hutan tropis dan bukit curam, tetapi pemandangan lembah hijau dan sambutan hangat warga membuat perjalanan ini tak terlupakan.
Warga Wae Rebo juga dikenal sebagai petani kopi yang terampil, dan pengunjung bisa mencicipi kopi lokal sambil mendengar cerita tentang sejarah desa.
Pada 2012, Wae Rebo menerima penghargaan UNESCO Asia-Pacific Heritage Awards atas upaya pelestarian arsitektur dan budayanya, menjadikannya destinasi yang diakui dunia.
Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat
Di lereng bukit Tasikmalaya, Jawa Barat, Kampung Naga menawarkan potret kehidupan tradisional Sunda yang memesona.
Desa ini terdiri dari sekitar 100 rumah panggung berbahan bambu dengan atap ijuk, berdiri rapi di tepi Sungai Ciwulan yang jernih.
Yang membuat Kampung Naga istimewa adalah komitmen warganya untuk menolak modernisasi berlebihan.
Mereka tidak menggunakan listrik dari PLN, memilih lampu minyak dan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, mencerminkan filosofi hidup selaras dengan alam.
Upacara Seren Taun, perayaan panen tahunan, menjadi momen istimewa dengan tarian, musik gamelan, dan pembagian hasil bumi.
Pengunjung bisa berjalan di lorong-lorong desa, melihat proses pembuatan anyaman bambu, atau berbincang dengan warga yang ramah.
Aturan adat di desa ini sangat ketat, misalnya larangan membangun rumah dari bahan modern seperti beton untuk menjaga identitas budaya.
Warga Kampung Naga percaya bahwa menjaga kesederhanaan adalah cara menghormati leluhur, dan mereka masih menggunakan kalender tradisional untuk menentukan waktu upacara.
Tenganan Pegringsingan, Karangasem, Bali
Di Karangasem, Bali, Tenganan Pegringsingan adalah salah satu desa Bali Aga tertua yang mempertahankan tradisi sebelum masuknya pengaruh Hindu-Jawa.
Desa ini terkenal dengan kain tenun Gringsing, yang dibuat dengan teknik double-ikat yang rumit dan dianggap memiliki kekuatan spiritual.
Tata ruang desa, dengan rumah-rumah batu yang seragam dan lorong-lorong lurus, mencerminkan filosofi Tri Hita Karana, keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Salah satu tradisi paling ikonik adalah Perang Pandan, ritual tahunan di mana pria bertarung menggunakan daun pandan berduri sebagai simbol keberanian dan pengorbanan.
Pengunjung bisa menyaksikan proses pembuatan kain Gringsing atau membeli kerajinan tangan seperti anyaman bambu.
Desa ini juga memiliki aturan unik, seperti larangan menikah dengan orang luar untuk menjaga kemurnian budaya.
Produk asli dari desa ini, kain tenun Gringsing membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk diselesaikan, dan motifnya diyakini membawa perlindungan bagi pemakainya.
Baduy, Lebak, Banten
Di pedalaman Lebak, Banten, suku Baduy hidup sebagai penjaga tradisi Sunda kuno. Terbagi menjadi Baduy Dalam dan Baduy Luar, komunitas ini memiliki gaya hidup yang berbeda.
Baduy Dalam menolak teknologi modern sepenuhnya, tanpa listrik, kendaraan, atau bahkan alas kaki, sebagai bentuk penghormatan terhadap bumi.
Mereka mengenakan pakaian putih sederhana dan hidup dari bertani serta menenun kain tradisional.
Baduy Luar sedikit lebih terbuka terhadap modernitas, tetapi tetap mempertahankan banyak tradisi.
Pengunjung bisa melihat rumah-rumah bambu sederhana, belajar tentang larangan merusak hutan, dan membeli kerajinan seperti kain tenun atau madu hutan.
Namun, akses ke Baduy Dalam sangat terbatas dan memerlukan izin khusus serta pendamping lokal.
Warga Baduy Dalam menggunakan sistem barter untuk kebutuhan tertentu, menunjukkan gaya hidup yang minim ketergantungan pada uang.
Sade, Lombok, Nusa Tenggara Barat
Desa Sade di Lombok, Nusa Tenggara Barat adalah rumah suku Sasak yang kaya akan tradisi.
Rumah-rumah adat di sini memiliki dinding anyaman bambu dan atap alang-alang, dengan lantai tanah yang dilapisi campuran kotoran kerbau untuk menjaga suhu tetap sejuk.
Warga Sade dikenal sebagai penenun kain songket yang terampil, dan pengunjung bisa menyaksikan proses pembuatan kain yang memakan waktu berjam-jam.
Upacara Nyale, perayaan tahunan untuk menangkap cacing laut sebagai simbol kesuburan, adalah sorotan budaya yang menarik banyak wisatawan.
Desa ini juga menawarkan tur budaya di mana warga berbagi cerita tentang tradisi perkawinan Sasak, seperti kawin lari yang disebut merariq.
Rumah di Sade dirancang tanpa paku, hanya menggunakan ikatan bambu, menunjukkan keterampilan arsitektur tradisional.
Trunyan, Bangli, Bali
Di tepi Danau Batur, Bali, Desa Trunyan menawarkan tradisi pemakaman yang tak ditemukan di tempat lain.
Berbeda dengan tradisi kremasi umum di Bali, warga Trunyan meletakkan jenazah di bawah pohon Taru Menyan, yang konon mampu menyerap bau mayat, menciptakan suasana pemakaman yang unik dan mistis.
Hanya jenazah dengan kondisi tertentu, seperti mereka yang meninggal secara alami, yang ditempatkan di sini.
Selain tradisi pemakaman, Trunyan menawarkan pemandangan Danau Batur yang memesona dan suasana desa yang tenang.
Pengunjung harus menyeberang danau dengan perahu untuk mencapai area pemakaman, menambah kesan petualangan.
Pohon Taru Menyan diyakini berusia ratusan tahun dan menjadi simbol spiritual yang sakral bagi warga Trunyan.
Tip Berkunjung ke Desa Adat
Mengunjungi desa adat adalah pengalaman yang memperkaya, tetapi menghormati tradisi lokal adalah keharusan.
Selalu minta izin sebelum memotret warga atau upacara.
Patuhi aturan adat, seperti larangan membawa teknologi di Baduy Dalam atau memakai pakaian sopan di semua desa.
Gunakan pemandu lokal untuk memahami konteks budaya, dan persiapkan fisik untuk perjalanan ke desa terpencil seperti Wae Rebo.
Membeli kerajinan lokal juga bisa menjadi cara mendukung perekonomian warga.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif






Comments 1