Bacaini.ID, KEDIRI – Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menilai korupsi bukan kejahatan kemanusian. Menurutnya, korupsi bukan sesuatu yang baru, melainkan fenomena global.
Mantan terpidana korupsi suap yang telah menerima amnesti dari Presiden Prabowo Subianto ini memandang korupsi bukan kejahatan luar biasa, apalagi dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana banyak dikampanyekan oleh pihak tertentu tanpa memahami secara baik makna dan keberadaannya.
“Ada penambahan satu alasan yang kami tambahkan di akhir alasan permohonan yakni bahwa korupsi bukan kejahatan kemanusiaan,” ujar kuasa hukum Hasto, Annisa Ismail, dalam sidang pemeriksaan lanjutan dengan agenda perbaikan permohonan pada Selasa (26/8/2025) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, dikutip dari laman www.mkri.id.
Dia menyebutkan di negara-negara seperti di Belanda, pengaturan suap-menyuap sebagai tindak pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda. Sehingga secara ringkas korupsi dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi dengan cara meminta, menerima, atau memeras.
Termasuk pihak swasta yang aktif menawarkan suap untuk mendapat kemudahan dari satu kebijakan dari proses kompetisi yang menimbulkan keuntungan, maupun perbuatan yang menguntungkan secara pribadi, meskipun tidak ada suap, akan tetapi ada hubungan patronase, nepotisme, kolusi, pengalihan aset negara, termasuk penyelewengan pendapatan negara.
Untuk itu Hasto mengajukan uji materi Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK/Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 21 UU Tipikor berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).”
Pasal tersebut, menurut Annisa Ismail, bukan merupakan bagian dari tindak pidana korupsi. Kalaupun Pasal 21 benar merupakan bagian dari perbuatan korupsi, maka menjadi berlebihan dan tidak proporsional jika ancaman hukumannya lebih tinggi dari pasal pokok dari undang-undang.
Diketahui Hasto telah divonis penjara tiga tahun dan enam bulan serta denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan setelah terbukti memberikan suap dalam kasus dugaan perintangan penyidikan perkara korupsi tersangka Harun Masiku.
Karena itu, Hasto berpendapat ancaman hukuman Pasal 21 UU Tipikor yang disangkakan kepadanya melebihi ancaman perkara pokok tertentu lainnya dalam UU Tipikor. Ia menganggap Pasal 21 UU Tipikor dalam praktiknya ditafsirkan secara tidak proporsional bahkan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil.
“Pasal 21 ini melanggar Pasal 28D ayat (1), Pasal 57 juga ditambahkan untuk menjelaskan betapa pentingnya pembatasan pada Pasal 21 dengan menambahkan unsur secara melawan hukum agar Pasal 21 ini memenuhi kriteria lex stricta, lex scripta, dan juga lex certa,” jelas Annisa.
Penulis: Hari Tri Wasono