Bacaini.ID, KEDIRI – Memiliki harta berlimpah selain memudahkan akses hidup lebih baik, juga membuat seseorang memiliki privilege sosial, ekonomi bahkan politik.
Namun seringkali kekayaan membuat seseorang terjebak dalam perilaku egois dan culture shock atau syok culture atau gegar budaya.
Menjadi sombong, pelit atau bahkan tak peduli dengan lingkungan.
Ada juga yang mendadak lupa nama daerah asal, bergaya seolah sepanjang hidupnya tak pernah mencicipi kuliner lokal, serta mengubah dialek bicara.
Yang termasuk syok culture ini biasanya muncul pada golongan orang kaya baru (OKB) yang hidupnya berubah setelah tinggal di perkotaan.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? World Economic Forum (WEF) dalam lamannya menjelaskan secara psikologis pengaruh kekayaan dan interaksi sosial.
Kesenjangan empati
Asumsi bahwa semakin kaya seseorang maka akan semakin banyak memberi, tidaklah tepat. Penelitian yang ada justru menunjukkan sebaliknya.
Data menunjukkan bahwa orang-orang kelas sosial rendah atau memiliki sumber daya lebih sedikit, justru lebih memperhatikan kebutuhan orang lain.
Hal ini bukan tanpa alasan. Orang yang memiliki sumber daya lebih sedikit, berinvestasi pada hubungan sosial mereka.
Ketika dalam masa sulit, mereka bisa meminta bantuan pada lingkungan sekitar.
Sementara orang kaya mengandalkan uang mereka dalam semua situasi.
Orang-orang dengan sumber daya lebih sedikit memiliki empati lebih. Eksperimen dalam penelitian tersebut meneliti perilaku pengemudi mobil ketika berada di jalan.
Pengendara mobil sederhana atau mobil tua lebih menghormati pengguna jalan lain ketimbang pengemudi mobil mahal yang cenderung arogan.
Beberapa eksperimen lain juga membuktikan bahwa orang dengan strata sosial lebih rendah memiliki kecenderungan terhubung secara emosional dengan orang lain.
Kekayaan dan moralitas
Kekayaan juga dikaitkan dengan kecenderungan untuk bertindak tidak etis.
Dalam studi tentang pencurian di toko, partisipan yang berpenghasilan tinggi dan berpendidikan lebih tinggi lebih mungkin melakukan tindakan pencurian.
Begitu juga dengan kecurangan pada perpajakan, atau perilaku korupsi. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar berpotensi melakukan kecurangan.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan WEF menemukan bahwa orang yang merasa lebih kaya, justru cenderung berperilaku tidak etis dan rakus.
Ego dan ketimpangan sosial
Penelitian dari WEF juga menemukan bahwa individu kelas atas merasa lebih berhak, kurang peduli dengan kebutuhan orang lain, dan terkadang berperilaku egois, bahkan tidak etis, untuk menjadi lebih maju lagi.
Kepentingan pribadi bagi orang kaya berkaitan erat dengan dampak psikologis dari ketimpangan ekonomi.
Ketika seseorang merasa dirinya lebih kaya dari sekitarnya, maka ia cenderung memperoleh keyakinan bahwa dirinya lebih baik daripada yang lain, lebih penting dan lebih pantas.
Penelitian terbaru juga membuktikan, di negara yang ketimpangannya tinggi, individu berpenghasilan tinggi cenderung bertindak kurang dermawan.
Namun di negara yang lebih setara atau ketimpangan ekonominya rendah, orang yang lebih kaya menjadi sama dermawannya dengan orang lain.
Dengan kata lain, dalam kondisi kesetaraan ekonomi yang lebih besar, orang kaya cenderung tidak merasa terputus dan lebih unggul dari orang lain. Mereka cenderung berperilaku murah hati.
Itulah kenapa orang kaya terlihat seenaknya dengan orang yang dianggap lebih rendah strata sosialnya, namun menjadi baik dengan orang yang mereka anggap setara.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif