Bacaini.id, KEDIRI – Kisah Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) tidak pernah lepas dari cerita pembangunan proyek jalan kereta api kolonial Hindia Belanda yang menggusur makam leluhur Diponegoro.
Pembangunan jalan baru di wilayah Tegalrejo yang menerjang makam leluhur Diponegoro itu berlangsung pada Mei 1825. Sepeninggal VOC yang dibubarkan lantaran bangkrut, kolonial Belanda diketahui tengah merevitalisasi ekonomi.
Sebelumnya isi kas negara banyak terbuang sia-sia untuk mengatasi urusan perang. Termasuk mengalahkan Inggris di tanah Jawa juga menyedot anggaran yang tidak kecil.
Pemerintah kolonial Belanda lantas menyiapkan pembangunan infrastruktur jalan dan tidak peduli proyek menerjang makam leluhur Pangeran Diponegoro. Yang ada di benak kolonial, revitalisasi ekonomi harus segera dijalankan.
Darah Diponegoro pun sontak mendidih. Ia tidak bisa membayangkan kuburan leluhurnya dilindas jalur rel kereta. Sebagai putra tertua Hamengkubowono III yang sangat menghormati leluhur, ia bukan hanya memerintahkan pengikutnya.
Yakni mencabuti patok-patok proyek jalan yang dipancangkan Patih Danureja IV (1813-1847) yang pro Belanda. Pangeran Diponegoro juga menyatakan sikap melawan yang di kemudian hari perlawanan itu kian membesar dan menjadi pemberontakan.
”Sesudah itu, berlangsung periode ketegangan. Pada 20 Juli (1825), pihak Belanda mengirim serdadu-serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Diponegoro,” demikian dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).
Sejumlah sumber sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Jawa bukan sekedar disebabkan persoalan proyek pembangunan jalan yang melindas pusara.
Jauh sebelum Diponegoro memutuskan menghunus keris, Pulau Jawa dalam situasi sosial, politik dan ekonomi yang carut marut. Sejak 1812 hingga 1825 perasaan tidak senang orang Jawa terhadap penguasa kolonial semakin meningkat.
Apa sebabnya? Di antaranya adalah tidak berhentinya orang-orang Eropa mencampuri urusan keraton Yogyakarta, termasuk mengintervensi pergantian raja.
Campur tangan urusan internal itu sangat tidak disukai. Kemudian praktek korupsi dan persekongkolan yang merajalela di lingkungan keraton. Pada saat yang sama banyak orang-orang Cina dan Eropa menyewa lahan untuk perkebunan tebu, kopi, nila dan lada.
Mereka menyewa tanah dari kalangan bangsawan keraton yang membutuhkan uang. Masalah timbul lantaran para penyewa lahan selalu memandang rendah penduduk pedesaan sekaligus tidak menghormati hukum adat yang berlaku.
Sementara di saat yang sama kehidupan ekonomi penduduk Jawa yang sebagian besar hidup dari becocok tanam (petani), semakin terjepit oleh lintah darat yang bergentayangan.
“Para petani semakin terpaksa untuk membayar pajak dalam bentuk kontan, yang semakin mendorong mereka untuk meminjam uang dari para lintah darat, kebanyakannya adalah orang Cina”.
Situasi sosial politik dan ekonomi yang tidak menguntungkan rakyat Jawa itu diperparah dengan terjadinya bencana pangan. Pada tahun 1821 panen padi tidak memuaskan dan wabah kolera kali pertama berjangkit di Jawa.
Pada tahun 1822 Sultan Hamengkubuwono IV wafat yang dikabarkan kematiannya lantaran diracun. Di penghujung tahun yang sama (1822), Gunung Merapi meletus dengan dahsyat.
Puncak penyebab meletusnya Perang Jawa berlangsung pada tahun 1823. Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen tiba-tiba mengeluarkan kebijakan menghapus praktek sewa tanah kepada swasta.
Bagi para bangsawan keraton, kebijakan baru itu merupakan pukulan besar. Mereka tidak hanya kehilangan pendapatan, tapi juga harus mengembalikan uang muka yang terlanjur dibayarkan penyewa Cina dan Eropa. Celakanya, sebagian besar uang muka itu sudah habis dibelanjakan.
Didorong rasa kecewa atas kebijakan yang dinilai merugikan, para bangsawan keraton kemudian memutuskan bergabung sebagai bagian pasukan saat Diponegoro memantik api pemberontakan melawan kolonial Belanda.
“Lima belas dari 29 pangeran, demikian pula 41 dari 88 bupati (pejabat senior istana) bergabung dengan Diponegoro,” demikian dikutip dari Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Pemberontakan dengan cepat menyebar di seluruh kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun pusat perlawanan berada di Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro diketahui memakai gelar Erucakra. Ia mengklaim sebagai Ratu Adil, yakni raja yang adil yang akan menyelamatkan rakyat Jawa dari penindasan.
Perang yang dikobarkan bukan hanya menyasar pemerintah kolonial Belanda, tapi juga ditujukan kepada Istana Yogyakarta yang dinilai pro Belanda.
Sejarah mencatat, Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun itu telah merenggut nyawa 200.000 orang Jawa. Di pihak kolonial Belanda, Perang Jawa telah menelan nyawa 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa dan 7.000 kebangsaan Indonesia.
Perang Jawa atau Perang Diponegoro yang berakhir 1830 juga membuat kas negara Pemerintah Kolonial Hindia Belanda bangkrut sebangkrut-bangkrutnya.
Penulis: Solichan Arif