Malam mulai larut ketika puluhan pria paruh baya memasuki halaman sebuah rumah di Jalan Gatot Subroto Desa Ngampel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri. Rumah itu tersembunyi dari jalan raya dan menampangkan pintu pagar besi.
Beberapa pria larut dalam obrolan di halaman rumah. Sebagian dari mereka berpakaian serupa, yakni berwarna dasar hitam dengan blangkon sebagai penutup kepala.
Mereka adalah penganut aliran kerohanian Sapta Darma. Sebuah aliran kepercayaan yang lahir di Kediri puluhan tahun silam, dan diyakini secara turun temurun oleh pengikutnya hingga kini. Mayoritas pengikut aliran ini adalah laki-laki.
Secara rutin warga Sapta Darma berkumpul di tempat peribadatan mereka yang disebut sebagai sanggar. Di sanggar ini mereka mengikuti penataran kerohanian yang membahas tentang ajaran, persoalan sehari-hari, hingga melaksanakan ibadah bersama.
Malam itu, Kamis 8 Februari 2018, selepas Maghrib puluhan warga Sapta Darma Kota Kediri telah berkumpul di Sanggar Candi Busana Mrican. Mereka hadir atas undangan Ki Surtarto yang menjabat sebagai Tuntunan Wilayah Sapta Darma di wilayah eks-Karisidenan Kediri. Sutarto bertanggungjawab mengurus warga Sapta Darma di tujuh kota/kabupaten mulai Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, dan Nganjuk.
Tepat pukul 21.00 WIB, Sutarto memimpin pertemuan anggotanya. Seperti layaknya pertemuan warga, mereka duduk di dalam sanggar yang menyerupai aula. Di atas hamparan karpet, sekitar 25 warga pengikut Sapta Darma mendengarkan penjelasan Sutarto. Dari puluhan orang di ruangan itu, hanya satu orang saja yang perempuan. “Kami sedang berembuk membicarakan calon gubernur Jawa Timur yang akan didukung,” kata Sutarto usai memimpin rapat dalam Bahasa Jawa.
Pemilihan calon gubernur menjadi penting karena menyangkut kelangsungan aktivitas para penghayat yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Diperkirakan jumlah mereka mencapai 15.000 orang dengan sebagian besar berada di Surabaya dan Malang. Karena itu mereka sangat berharap gubernur yang akan datang bisa mengakomodir kepentingan para penghayat yang masih kerap dikucilkan di masyarakat.
Menjadi seorang penghayat, menurut Sutarto, butuh kesiapan mental yang kuat. Mereka harus siap diperlakukan berbeda di masyarakat karena keyakinan yang dianut. Melalui forum penataran rohani seperti ini, Sutarto selalu memberi semangat kepada warga Sapta Darma untuk tak berkecil hati dan tetap menjadi kader militan. “Kita harus bisa bergaul dengan siapapun dan tidak menutup diri,” pesannya.
Usai berembuk dan menyelesaikan materi kerohanian, Sutarto mengajak mereka untuk sujud. Dalam ajaran Sapta Darma, sujud adalah satu-satunya bentuk ibadah yang diwajibkan minimal sekali dalam sehari kepada pengikutnya.
Diawali dengan membersihkan badan dari kotoran, mereka menggelar kain putih ukuran satu meter persegi di lantai. Kain kafan yang biasa dipergunakan untuk membungkus jenasah itu diletakkan dengan posisi ketupat. Selanjutnya mereka duduk bersila di atasnya menghadap Timur.
Di sudut lain dalam ruangan yang sama, seorang warga mendendangkan tembang Macapat berbahasa Jawa. Lantunan tembang yang disuarakan pelan dan syahdu tanpa iringan alat musik ini dimaksudkan membantu konsentrasi dalam bersujud.
Tak lama setelah alunan Macapat terdengar, satu per satu dari mereka menggerakkan punggung ke depan. Masih sambil bersedekap layaknya orang sholat, badan mereka terus membungkuk hingga seluruh bagian kepala menempel pada kain kafan. Gerakan seperti ini bertahan hingga beberapa menit sebelum perlahan-lahan kembali bergerak naik ke posisi semula.
Perubahan gerak duduk bersila menjadi sujud ini tak dilakukan bersamaan seperti shalat berjamaah. Demikian pula jumlah sujud yang dijalankan berbeda-beda antara tiap penganut. “Kalau saya biasa melakukan hingga satu setengah jam setiap hari,” kata Sutarto.
Tiap-tiap gerakan dalam sujud memiliki arti berbeda. Kain kafan yang digelar menjadi perlambang niat suci untuk menghadap Yang Maha Kuasa. Sementara Timur dipilih menjadi tujuan ibadah karena memiliki arti “permulaan”, yakni dari kata wetan (Timur) atau wiwitan (permulaan). Hal ini ditandai dengan terbitnya matahari dari Timur sebagai awal kehidupan.
Menurut Sutarto, sujud merupakan puncak khitmat untuk menghadap Tuhan. Dalam ritual ini mereka meyakini tengah melepaskan roh dari raga untuk bertemu dengan Tuhan di alam langgeng. Di alam itulah seorang manusia bisa mengintip kehidupan setelah mati dan melihat jalan menuju suarga loka (surga). “Biar kelak jika kita mati, arwah kita tidak kesasar mencari jalan ke surga karena kita sudah melihatnya lebih dulu,” terang Sutarto.
Hal inilah yang membedakan proses matinya manusia dengan binatang yang arwahnya kesasar susur alias gentayangan. Karena itulah ibadah sujud menjadi kewajiban yang harus dilakukan minimal sekali dalam sehari, dengan waktu keutamaan di atas pukul 21.00 WIB. Tak harus dilakukan di sanggar secara bersama-sama, ritual ini bisa dilakukan di rumah masing-masing mulai malam hingga dini hari.
Lahirnya Sapta Darma
Ajaran Sapta Darma pertama kali diperkenalkan oleh seseorang bernama Harjosapuro, seorang penarik delman dan tukang pangkas rambut di Pandean, Pare, Kabupaten Kediri. Kala itu, 27 Desember 1952, Harjosapuro yang tengah tertidur tiba-tiba digerakkan oleh kekuatan yang tak bisa dihindari.
Setelah terbangun dari tidur, dia mengubah posisi duduk menghadap Timur dan melakukan gerakan sujud. Peristiwa yang terjadi mulai pukul 01.00 – 05.00 WIB itulah yang diyakini warga Sapta Darma sebagai turunnya wahyu pertama.
“Ada hal di luar nalar yang terjadi pada Bapak Harjosapuro, yakni ketika beliau mengucapkan kalimat yang meluhurkan nama Allah dengan kencang, tetapi tak ada satupun tetangga yang mendengar. Padahal rumahnya dari gedek bolong-bolong,” terang Sutarto.
Karena takut dengan hal yang menimpa dirinya, Harjosapuro memutuskan pergi menemui temannya dan menceritakan peristiwa itu. Tanpa diduga, teman tersebut mendadak ikut digerakkan oleh kekuatan ghaib untuk melakukan sujud. Peristiwa ini terus berulang kepada lima sahabat yang ditemui Harjosapuro. Hingga pada akhirnya dia memutuskan tidak pulang terlebih dulu.
13 Februari 1953, Harjosapuro kembali pulang atas wisik (petunjuk) yang diterima. Hanya berselang beberapa hari setelah kepulangannya, Harjosapuro kembali menerima wahyu pada pukul 10.00 WIB. Wahyu kedua yang diberi nama wahyu Racut ini mengabarkan kepada Harjosapuro tentang kewajiban manusia untuk mengetahui dan melihat alam abadi setelah kematian. Di situ akan ada tuntunan kepada roh yang meninggal untuk menuju surga sesuai darma dan amalannya.
Dalam wahyu Racut ini Harjosapuro menerima gelar baru dari Tuhan menjadi Sri Gutomo, yang berarti pelopor budi luhur. Gelar itu adalah tertinggi dalam komunitas Sapta Darma sebagai panutan agung.
Wahyu terakhir diterima Harjosapuro pada tanggal 12 Juli 1953 pukul 11.00 WIB, berupa tuntunan hidup yang terdiri atas simbol pribadi, wewarah pitu, dan sesanti. Wahyu ini untuk mengendalikan dan mengatur tiga unsur yang ada dalam diri manusia berupa nafsu, budi, dan pakarti. Ketiga unsur inilah yang membedakan manusia dengan hewan yang hanya memiliki nafsu dan budi, serta tumbuhan yang hanya dibekali nafsu belaka.
Wewarah pitu atau tujuh tuntunan yang diturunkan melalui wahyu menjadi kewajiban setiap warga Sapta Darma untuk menjalankan. Wewarah pitu itu terdiri atas percaya dan patuh pada Allah Hyang Maha Agung, berbuat jujur dan berbakti kepada negara, ikut berperan pada tegaknya nusa dan bangsa, menolong sesama dengan ikhlas dan tanpa berharap balas jasa, berdikari dan mandiri tanpa bergantung orang lain, berbuat baik dan luhur kepada sesama demi kebahagiaan orang lain, serta meyakini jika kehidupan di dunia ini tidak kekal.
Seluruh ajaran yang disampaikan Harjosapuro tersebut diyakini sebagai wahyu dari Tuhan lantaran kapasitas pribadi Harjosapuro yang dinilai tak mampu untuk membuatnya. Sebagai lulusan sekolah dasar dan bekerja menjadi kusir delman dan tukang pangkas rambut, mustahil bagi Harjosapuro untuk mengarang dan mengingat ajaran tersebut dengan baik. “Itu adalah mukjizat,” tegas Sutarto.
Kelebihan lain yang dimiliki Harjosapuro adalah menyembuhkan orang sakit yang tidak mampu diobati oleh dokter. Bahkan kemampuan menyembuhkan ini menjadi metode penyebaran ajaran Sapta Darma kepada masyarakat. Para pengikut Harjosapuro dibekali kemampuan pengobatan dan disebar ke berbagai daerah untuk menyebarkan Sapta Darma.
Kabar ‘kesaktian’ ini terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwono. Konon metode pengobatan mereka mampu menyembuhkan keluarga Sri Sultan yang menderita sakit cukup lama. Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal kebesaran Sapta Darma di Jawa Tengah.
Peristiwa itu pula yang memancing perhatian seorang mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada bernama Sowartini Martodiharjo untuk mempelajari Sapta Darma hingga ke Kediri.
Belakangan mahasiswi perempuan yang kelak berprofesi menjadi pengacara ini ditunjuk oleh Harjosapuro menjadi juru bicara Sapta Darma, sekaligus penggantinya sebagai tuntunan agung. Hingga kini potret dua orang tersebut dibadikan ke dalam buku tuntutan kerohanian Sapta Darma maupun di dalam sanggar tempat mereka beribadah.
Sutarto sendiri masuk dan meyakini ajaran Sapta Darma melalui proses penyembuhan. Saat berusia tujuh tahun dan divonis mengidap polio hingga tak bisa berjalan, ia diajak pakdenya yang merupakan penganut Sapta Darma untuk melakukan sujud. Setelah melakukan sujud berulang-ulang, lambat laun penyakit yang dideritanya sirna. Sutarto bisa berjalan normal di tahun 1958 dan menjadi pengikut ajaran Sapta Darma.
Hidup Bermasyarakat
Uniknya, meski berstatus sebagai tuntunan wilayah, Sutarto tak pernah mampu mengajak istri dan ketiga anaknya untuk mengikuti jalannya. Mereka memilih menganut agama Islam dan taat menjalankan ibadah sesuai syariat Islam di rumah. “Saya tak boleh memaksa seseorang untuk masuk, walaupun itu keluarga sendiri. Menjadi seorang penghayat harus atas kesadaran pribadi,” tuturnya.
Walaupun berbeda keyakinan, Sutarto mengklaim tak pernah terjadi perselisihan di dalam keluarga maupun lingkungan tempat tinggalnya. Ia juga mengijinkan istrinya untuk mengajak ketiga anaknya memeluk Islam.
Kepiawaian Sutarto dalam berinteraksi membuatnya cukup disegani warga sekitar. Bahkan di kawasan Jalan Stasiun Kota Kediri tempatnya tinggal, Sutarto cukup disegani sebagai tokoh masyarakat.
“Mbah Tarto (panggilan Sutarto) dan keluarganya sangat dihormati di sini. Beliau juga rajin mendatangi undangan pengajian, tahlil, dan Natal meski seorang penghayat,” terang Nowo Doso, warga Jalan Stasiun.
Untuk urusan lingkungan, Sutarto dan anak-anaknya lebih trengginas di banding warga lain. Mereka juga tak pernah berhitung saat mengeluarkan duit untuk membiayai kegiatan karang taruna dan lingkungan. Tak heran jika setiap perhelatan peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Sutarto kerap ditunjuk menyampaikan pepeling atau nasehat perjuangan.
Dalam pergaulan sehari-hari Sutarto juga tak pernah memengaruhi atau memobilisir warga untuk mengikuti ajaran Sapta Darma. Sutarto juga selalu meminta pengikut kepercayaan di Kediri untuk selalu terbuka dan tidak menutup diri terhadap lingkungan.
Demikian pula dengan perkawinan. Penganut Sapta Darma tak pernah membatasi pernikahan dengan penganut agama ataupun kepercayaan lain. Namun untuk perempuan yang dinikahi warga Sapta Darma, diwajibkan mengikuti prosesi pernikahan sesuai ajaran mereka. Sutarto memastikan pernikahan yang dilakukan menurut ajaran Sapta Darma tetap bisa dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Data terakhir pada 2018, jumlah anggota Sapta Darma di Kota Kediri mencapai 2.000 orang. Periode sebelum tahun 1965 menjadi sejarah pertumbuhan Sapta Darma terbesar di seluruh Indonesia. Kala itu jumlah pengikut ajaran ini mencapai puluhan ribu.
Namun populasi mereka menurun drastis setelah pecah peristiwa penumpasan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965. Meski tak pernah terlibat dalam partai tersebut, namun para pengikut Sapta Darma kerap dituduh dan dicap sebagai kader PKI karena tak memiliki agama. Demi menyelamatkan diri, banyak dari mereka yang kemudian memilih agama tertentu.
Penulis: Hari Tri Wasono
Disclaimer: Artikel ini ditulis pada Tahun 2018 dan pernah ditayangkan di Beritagar.id