Bacaini.id, LIMA PULUH KOTA- Hari masih gelap di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Suasana riuh terdengar dari bilik-bilik dapur warga. Hilir mudik orang memenuhi jalanan kampung di pagi buta.
Hari itu, Sabtu 14 Januari 2017, warga Kecamatan Suliki dan Gunung Omeh tengah bersiap merayakan upacara penjemputan pimpinan adat mereka, Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Upacara penjemputan jasad Ibrahim ini sudah lama dinantikan warga. Sejak berpuluh tahun silam mereka menantikan kabar keberadaan Ibrahim Datuk Tan Malaka, pucuk pimpinan adat di Kelarasan Bungo Setangkai.
baca ini Pejuang Minang Yang Hilang
Upacara adat yang menyerupai pesta rakyat ini berlangsung meriah dengan melibatkan seluruh penduduk. Tiap-tiap rumah mengusung ragam makanan dan hasil bumi untuk disajikan ke meja makan. Mereka membiayai sendiri seluruh rangkaian prosesi demi kepulangan sang datuk.
Tak hanya warga Kecamatan Suliki dan Gunung Omeh, ribuan warga dari luar kampung di Kabupaten Lima Puluh Kota tumpah ruah menyaksikan prosesi pelepasan panitia penjemputan jasad Ibrahim Datuk Tan Malaka ke Kediri.
Dimulai dari pemukulan Batu Talempong di Balai Adat Nagari Talang Anau yang dipimpin Nyak Datuk Naro, sesepuh adat dari Suku Jambak, prosesi penjemputan dimulai dengan doa bersama. Sebanyak enam batu besar yang dijajar beriringan dengan bantalan bambu dipukul dengan rancak hingga menghasilkan nada bertajuk Siamang Tagagu dan Cak Tuntun.
Aneh memang, bagaimana susunan batu alam bisa menjadi alat musik yang menghasilkan suara beragam. Susunan tersebut terdiri dari dua batu talempong yang mengeluarkan bunyi melodi, dua batu tunggal untuk mengatur irama, serta batu lain sebagai talempong jantan dan betina yang memproduksi suara rendah dan tinggi.
Menurut cerita masyarakat setempat, batu talempong ditemukan pertama kali oleh seorang ulama bernama Syeikh Syamsudin pada abad 12 Masehi. Batu ini hanya dimainkan pada momen besar dengan diikuti ritual adat para sesepuh. “Sejak ditemukan, batu ini baru dipukul dua kali, salah satunya pada ritual penyerahan mandat penjemputan Datuk Tan Malaka ini,” kata Ferizal Ridwan, Wakil Bupati Lima Puluh Kota yang menginisiasi penjemputan itu.
Usai pemukulan batu talempong, pemegang tampuk gelar Datuk Tan Malaka VII, yang juga cucu keponakan Ibrahim Datuk Tan Malaka, Hengki Novaro Arsil diarak menuju Balai Adat di Nagari Pandam Gadang. Di tempat ini digelar berbagai atraksi kebudayaan dari Sumatera Barat dan Jawa Timur sebagai simbol persatuan antara Kabupaten Limapuluh Kota dengan Kabupaten Kediri yang menjadi awal dan akhir perjalanan Tan Malaka.
Selanjutnya, panitia penjemputan yang berjumlah 40 orang dari Yayasan Peduli Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Tan Malaka Institute, sejarahwan, serta perwakilan tokoh masyarakat Minang resmi mengemban tugas melakukan negosiasi dan pengurusan administrasi kepada Kementerian Sosial dan Pemerintah Kabupaten Kediri.
Hingga akhirnya dicapai kesepakatan bersama untuk membawa pulang tanah kuburan Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri sebagai pengganti jasad.
Safruddin Datuk Bandaro Rajo, tokoh adat setempat yang turut melakukan penjemputan mengatakan pengambilan tujuh genggam tanah kuburan oleh keluarga dan para datuk sudah mewakili sebagai jasad Tan Malaka. “Kalaupun dibongkar, tulang belulangnya sudah menyatu dengan tanah,” katanya.
baca selanjutnya Tanah Pengganti Jasad (HTW)