Bacaini.id, KEDIRI – Sejak kematiannya tanggal 21 Februari 1949 di lereng Gunung Wilis tersiar, upaya pencarian terhadap jasad Ibrahim Tan Malaka mulai dilakukan. Tak hanya keluarga, tokoh adat dari Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat ikut mencari.
Pencarian dilakukan mengingat status Ibrahim sebagai pucuk pimpinan adat di Kelarasan Bungo Setangkai yang membawahi 142 Niniak Mamak atau penghulu (kepala kaum) di wilayah 3 Nagari dari Kecamatan Suliki dan Gunung Omeh di Kabupaten Lima Puluh Kota. Gelar sebagai Datuk Tan Malaka IV itu pula yang membuatnya sangat dihormati sebagai raja dari ratusan kepala kaum di kampungnya.
Kepergian Ibrahim yang merantau meninggalkan tanah kelahiran ini membuat pucuk pimpinan adat Kelarasan Bungo Setangkai mengalami kekosongan. Apalagi kepergian tersebut tak berujung pada kepulangan atau kejelasan jejak nasibnya.
Demi kelangsungan kaum, para sesepuh adat memutuskan mendelegasikan gelar Datuk Tan Malaka kepada keponakan atau kerabat Ibrahim dari garis keturunan ibu sesuai adat Minang. Keputusan ini diambil lantaran Tan Malaka tak memiliki istri ataupun keturunan yang menjadi pewaris gelar.
Penemuan Harry A Poeze
Tahun 2007 menjadi babak baru pencarian jejak Tan Malaka yang gelap. Harry A Poeze, sejarahwan asal Belanda yang menghabiskan 30 tahun lebih untuk mencari jejak Tan Malaka mengumumkan lokasi kematian sang pahlawan di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Sebuah pemakaman umum yang menjorok ke dasar lembah di tepian kampung menuju hutan diyakini sebagai tempat kuburan jasad Tan Malaka.
Menurut warga setempat, kawasan itu menjadi langganan persembunyian pengungsi dari kota saat agresi militer Belanda. Jejak keberadaan pasukan Indonesia juga terlacak dari berbagai peninggalan perang seperti amunisi dan sepatu tentara.
Temuan Harry A Poeze tersebut menjadi pelita di kegelapan. Dua tahun setelah penemuan itu, kerabat Tan Malaka yang dimotori keponakannya Zulfikar Kamarudin melakukan uji deoxyribose-nucleic acid (DNA) di makam itu. Ahli forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr Djaja Surya Atmadja SpF, PhD, S.H., DFM dilibatkan menjadi ketua tim penggalian makam di Desa Selopanggung pada tanggal 12 September 2009.
Bersama mahasiswanya, Djaja membongkar makam dan mengangkat sisa-sisa tubuh yang diyakini sebagai Tan Malaka. Beberapa organ penting dibawa ke Jakarta untuk dilakukan tes DNA dan pencocokan dengan DNA keluarga di Sumatera Barat.
Sayang proses uji DNA tersebut sempat mengalami kendala karena rusaknya sebagian besar jasad Tan Malaka. Dari penggalian itu, tim hanya berhasil mengambil struktur gen dan tulang saja. Sementara struktur gigi sama sekali tidak ditemukan. Ini pula yang membuat hasil penelitan tersebut dinyatakan tidak lengkap. Dari 14 item yang disyaratkan, hanya 9 item yang memenuhi kecocokan.
baca ini Tanah Pengganti Jasad
Meski meragukan, tidak demikian dengan sikap keluarga dan warga Sumatera Barat. Mereka meyakini jasad itu sebagai Tan Malaka. “Karena sudah lebih dari 50 persen, kami meyakini itu benar jasad Datuk kami,” kata Ferizal Ridwan, Wakil Bupati Lima Puluh Kota kala itu.
Perebutan Jasad
Keyakinan dan keinginan keluarga untuk membawa pulang jasad Tan Malaka tak semudah membalik telapak tangan. Pemerintah Kabupaten Kediri menolak pembongkaran makam dan pengambilan jasad tersebut, sebelum hasil tes DNA dikeluarkan Menteri Sosial.
“Sebelum hasil DNA resmi diumumkan, kami melarang pemindaham makam dari Kediri,” kata Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kediri Sugeng Waluyo yang menjabat kala itu.
Sikap itu tak berlebihan mengingat Pemerintah Kediri memiliki alasan kuat untuk mempertahankannya. Mereka bahkan berjanji untuk membangun kawasan wisata sejarah di Selopanggung jika kelak makam itu benar-benar terbukti sebagai Tan Malaka. Selain potensi ceruk wisata, keberadaan makam pahlawan nasional diharapkan mendongkrak kehidupan ekonomi masyarakat Selopanggung yang berada di bawah garis kemakmuran.
Tercatat dua kali perundingan antara Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota dengan Kabupaten Kediri digelar tanpa membuahkan hasil apapun. Kedua pihak akhirnya bersepakat membawa persoalan itu ke meja Menteri Sosial sebagai pemegang otoritas atas makam pahlawan nasional.
Hasilnya, warga Kabupaten Lima Puluh Kota diperkenankan melakukan pengambilan jasad secara simbolis. Raga Tan Malaka akan tetap terpendam di makam Desa Selopanggung Kediri.
baca selanjutnya Menjemput Ketua Adat (HTW)