Bacaini.ID, JAKARTA – Perdebatan mengenai penetapan status bencana nasional kembali menyeruak di media sosial. Sejumlah influencer mempertanyakan sikap pemerintah yang belum menaikkan status bencana tertentu ke level nasional. Mereka beranggapan bahwa tanpa status tersebut, pemerintah pusat tidak dapat mengucurkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk penanganan korban.
Namun, sejumlah pakar kebencanaan dan regulasi menilai narasi tersebut keliru dan berpotensi menyesatkan publik. Penetapan status bencana nasional bukanlah syarat utama bagi pencairan dana bantuan dari pemerintah pusat.
APBN Tetap Bisa Dicairkan Tanpa Status Nasional
Misinformasi terbesar yang beredar adalah keyakinan bahwa tanpa status nasional, pemerintah pusat tidak dapat menyalurkan dana APBN. Berdasarkan mekanisme resmi, APBN justru dapat mengalir meskipun bencana tersebut masih dikategorikan sebagai bencana daerah.
Pemerintah pusat memiliki Dana Siap Pakai (DSP) di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Untuk mencairkan dana tersebut, syaratnya cukup sederhana: bupati atau gubernur harus menetapkan Status Tanggap Darurat di daerah masing-masing. Setelah status itu dikeluarkan, BNPB dapat langsung mengucurkan dana tanpa menunggu penetapan dari Presiden.
“Keran APBN otomatis terbuka begitu status tanggap darurat ditetapkan di tingkat daerah,” kata seorang pejabat BNPB yang dikonfirmasi terpisah. “Penetapan bencana nasional bukan prasyarat bantuan.”
UU Mengatur Ketat Penetapan Bencana Nasional
Penetapan status bencana nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Keputusan ini berada sepenuhnya di tangan Presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2).
Penjelasan undang-undang menyebutkan lima indikator utama yang digunakan dalam pertimbangan penetapan:
- Jumlah korban jiwa
- Kerugian harta benda
- Kerusakan sarana dan prasarana
- Luasnya wilayah terdampak
- Dampak sosial ekonomi yang masif
Dalam praktiknya, indikator kelima sering ditafsirkan sebagai kelumpuhan total pemerintahan daerah. Selama kepala daerah dan struktur pemerintahan masih mampu bekerja, status bencana nasional dianggap belum terpenuhi.
Baru Dua Kali Indonesia Menetapkan Bencana Nasional
Sejak UU Penanggulangan Bencana diberlakukan, Indonesia hanya dua kali menetapkan status bencana nasional. Pertama, Tsunami Aceh 2004, ketika pemerintah daerah benar-benar kolaps akibat banyak pejabat meninggal dan fasilitas pemerintahan hilang. Kedua, pandemi COVID-19, yang melumpuhkan aktivitas ekonomi dan sosial di seluruh wilayah Indonesia.
Minimnya jumlah penetapan menunjukkan betapa ketatnya syarat yang harus dipenuhi.
Lombok dan Palu 2018 Menjadi Contoh Penting
Gempa Lombok dan likuifaksi Palu pada 2018 menelan ribuan korban jiwa dan menyebabkan kerusakan besar. Meski demikian, keduanya tidak ditetapkan sebagai bencana nasional.
Alasannya, pemerintah daerah di kedua wilayah tersebut masih mampu menjalankan fungsi pemerintahan. Walikota Palu dan Gubernur NTB tetap dapat memberikan instruksi serta memimpin proses tanggap darurat. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah pusat tidak memiliki dasar hukum untuk mengambil alih kewenangan daerah.
Waspada Narasi Keliru di Media Sosial
Ramainya perdebatan di media sosial menunjukkan bahwa isu kebencanaan kerap menjadi sasaran misinformasi. Para pengamat mengingatkan publik untuk berhati-hati terhadap narasi yang menyesatkan, apalagi jika disampaikan oleh pihak yang tidak memahami regulasi.
“Ini bukan sekadar soal label bencana nasional. Ada konsekuensi hukum dan tata kelola pemerintahan yang harus dipertimbangkan,” ujar seorang analis kebencanaan.
Masyarakat diimbau untuk merujuk pada regulasi resmi dan penjelasan lembaga pemerintah agar tidak terjebak dalam simpang siur informasi.
Penulis: Danny Wibisono





