Bacaini.ID, KEDIRI – Solo together atau stranger to friends merupakan kegiatan bersama yang berawal dari rasa kesepian lantaran tak punya teman pasca pandemi Covid-19.
Apalagi bersamaan era digital. Semua aktivitas beralih ke daring. Kemampuan srawung atau bergaul secara luring atau tatap muka makin berkurang. Bukan hanya anak muda, tapi juga orang dewasa.
Komunikasi secara daring jadi pilihan utama di tengah bergesernya norma sosial, berkembangnya platform komunikasi digital dan dominasi media sosial.
Namun bukan berarti mereka anti sosial, sebab faktanya banyak gerakan-gerakan sosial yang berangkat dari media online.
Baca Juga:
- Dampak Stres Sebabkan Tumbuh Uban Ternyata Bukan Mitos
- Watak Pengguna Medsos yang Jarang Posting dan Ganti Foto Profil
- Berdebat dengan Orang Bodoh itu Capek Sekaligus Menyenangkan
Ya, Solo Together kemudian menjadi salah satu social movement yang sedang tren. Cara asyik beraktivitas bersama dengan orang-orang yang tidak saling kenal.
Solo Together memberi kesempatan pada individu-individu yang tak memiliki teman karena berbagai faktor untuk tetap bisa ‘srawung’ dan mendapat teman baru di komunitas.
Booming sejak tahun 2023 di Indonesia, tren ini terus berkembang hingga kini dengan sarana media sosial sebagai wadah untuk mengumpulkan orang-orang yang ingin beraktivitas di luar namun tak punya teman.
Tren Berkomunitas Baru, Disukai Kaum Muda
Social movement solo together ini berawal dari rasa kesepian pasca pandemi Covid-19 yang memaksa semua orang beraktivitas daring.
Menjamurnya kerja remote, aktivitas online yang semakin meningkat, membuat banyak orang kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi. Akibatnya, mereka tidak memiliki teman ‘jalan’ untuk sekedar melepas penat bersama.
Dari sinilah kemudian muncul gerakan solo together atau stranger to friends untuk mengumpulkan orang-orang yang tak memiliki teman untuk berkegiatan bareng.
Alurnya: datang sendiri, bertemu orang baru, aktivitas bersama, punya teman baru.
Ada banyak komunitas seperti ini di berbagai belahan dunia dan termasuk banyak kota di Indonesia. Salah satunya adalah Timeleft, brand komunitas sosial yang telah menjangkau berbagai negara salah satunya Indonesia.
Komunitas ini mengajak orang yang membutuhkan teman untuk berkumpul dengan dimulai dari dinner, makan malam.
Dari pertemuan satu meja makan, berkenalan dengan orang baru dan menjadi teman di dunia nyata. Gerakan sederhana namun mampu menyelamatkan banyak orang dari kesepian dan kebutuhan dasarnya sebagai makhluk sosial.
Dari Indonesia ada ‘komunitas bermain’ yang kini telah ada di berbagai kota. Komunitas ini mengumpulkan strangers, orang yang tak saling kenal, untuk bermain bersama.
Permainan tradisional seperti congklak, gobak sodor, bentengan, egrang, main karet dan lainnya mereka mainkan bersama. Siapapun boleh bergabung dengan batasan usia dari 5 tahun hingga 55 tahun.
Untuk cari teman buat kulineran, ada komunitas ‘makan bareng’ yang bisa dengan mudah ditemukan di media sosial. Begitupun jika ingin travelling, atau bahkan mencari jodoh, komunitas-komunitas seperti ini ada.
Alasan Tren Solo Together Berkembang Pesat
Pengaruh media sosial menjadi ujung tombak berkembangnya komunitas-komunitas ini. Tren FOMO ikut berpengaruh, orang penasaran ingin ikut apa yang sedang tren di media sosial.
Namun di balik itu, ada fakta sosial yang mendasari tren ini bisa diterima baik. Jakpat Survey menunjukkan bahwa 68% Gen Z di kota besar merasa kesepian.
Remote work dan sering pindah kota untuk bekerja membuat circle pertemanan semakin menipis. Setiap orang menjadi fokus pada kebutuhan sendiri.
Selain itu, berteman dengan orang lain hanya secara daring dirasa kurang. Menemukan teman yang memiliki hobi sama, lebih disukai.
Salah satu jalan cepat untuk menemukan teman, dengan ikuti komunitas solo together. Bonusnya tak hanya sekedar memiliki teman baru. Ada banyak juga yang menemukan partner kerja atau kesempatan kerja yang lebih baik, bahkan bertemu jodoh di komunitas-komunitas ini.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif





