JOMBANG – Peringatan Hari Pahlawan 10 November mengingatkan kita pada dua tokoh besar dari pesantren di Jombang. Meski berlatar belakang pondok, keduanya tercatat sebagai Pahlawan Nasional yang berjasa bagi kemerdekaan bangsa.
Tokoh pertama adalah KH Abdul Wahid Hasjim. Lahir di Jombang pada 1 Juni 1914, Kiai Wahid Hasjim menerima anugerah pahlawan nasional dari pemerintah Republik Indonesia. Ayah presiden keempat Abdurrahman Wahid ini juga sempat menjabat Menteri Negara dalam kabinet Soekarno – Hatta.
Kemampuan intelektual beliau di bidang politik, pendidikan, agama, kenegaraan, dan pesantren tak bisa ditandingi siapapun. Potensi ini bahkan sudah terlihat sejak beliau muda dan mengenyam pendidikan di berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekkah.
Di usia 21 tahun, Kiai Wahid Hasjim membuat terobosan sistem pendidikan pesantren. Dia memadukan pola pengajaran pesantren yang menitikberatkan ajaran agama dengan pelajaran ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Sistem pendidikan ini dinamakan madrasah nidzamiyah.
Tumbuh di lingkungan pesantren, kemampuan intelektual Kiai Wahid Hasjim soal tata negara mengundang decak kagum. Sepak terjang Kiai Wahid Hasjim berawal ketika terpilih menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tanggal 24 Oktober 1943. Saat itu Indonesia dalam pendudukan Jepang.
Selaku pemimpin Masyumi, Kiai Wahid Hasjim merintis pembentukan Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam untuk mengusir penjajah. Hebatnya, tak hanya melakukan gerakan politik, Kiai Wahid Hasjim juga mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada tahun 1944.
Karier politiknya terus menanjak dengan cepat. Dia terpilih menjadi Ketua PBNU, anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman).
Rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Pancasila sebagai pengganti dari “Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya” tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasjim. Wahid dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif.
- Wahid Hasjim meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan mobil di Kota Cimahi tanggal 19 April 1953.
Tokoh kedua adalah KH. Hasjim Asy’ari, putra Kyai Asy’ari, pemimpin Pondok Pesantren di sebelah selatan Jombang. KH. Hasjim Asy’ari memiliki darah keturunan Sultan Pajang Jaka Tingkir.
Sejak usia 15 tahun ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, seperti Pesantren Wonokoyo Probolinggo, Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Trenggilis Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan, dan Pesantren Siwalanpanji Sidoarjo. Pada tahun 1892, K.H. Hasjim Asy’ari pergi menimba ilmu ke Mekah.
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, K.H. Hasjim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Salah satu hasil pemikirannya yang masih tak pernah lekang oleh zaman adalah Nahdlatul Ulama. Organisasi yang didirikan pada tahun 1926 ini bertahan hingga sekarang, dan menjadi organisasi massa terbesar di Indonesia.
Semasa hidupnya, almarhum menikah tujuh kali, dengan empat di antaranya putri ulama. Mereka adalah Khadijah, Nafisah, Nafiqah, dan Masrurah. Salah seorang putranya, Wahid Hasyim adalah salah satu perumus Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Menteri Agama. Sedangkan cucunya Abdurrahman Wahid pernah menjabat Presiden Indonesia. (HTW)