Bacaini.ID, SURABAYA – Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mengusulkan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hanya untuk masyarakat miskin menuai kritik.
Ketua BPJS Watch Jawa Timur, Arief Supriyono S.T.,S.H.,S.E.,M.M. mengatakan pernyataan Menkes tersebut menyiratkan pembedaan layanan kesehatan masyarakat miskin dan kaya.
“Sekelas Menkes saja sudah mendikotomi antara rakyat miskin dan orang kaya. Bukti bahwa beliau (Menkes-red) tidak paham konstitusi,”tegas Arief Supriyono dalam keterangan persnya, Senin (17/11/2025).
Menurut Arief, Pasal 28 H ayat (1) jelas menyebutkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan.
Sedangkan Pasal 4 huruf (a) UU No.40 Tahun 2004 Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menyebutkan, Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan pada prinsip kegotongroyongan.
“Jelas orang kaya ikut gotong royong, artinya ikut jadi peserta. Kalau mau orang kaya punya asuransi swasta gak masalah, tapi jangan dikotomikan seperti itu,”tandas Arief.
Menurutnya, Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatahan menyebutkan bahwa seluruh rakyat wajib ikut jaminan Kesehatan.
Seperti diketahui Menkes Budi Gunadi mengusulkan agar BPJS Kesehatan hanya melayani masyarakat miskin. Sedangkan orang kaya diminta menggunakan jaminan kesehatan swasta.
“Kita juga ingin sistem mekanisme iuran dibikin seefisien mungkin, di mana standar kelas rawat inap standar. Maksudnya apa, supaya ya sudah BPJS fokus di bawah aja. Saya bilang nggak usah cover yang kaya, yang kaya kelas 1 biarin diambil swasta,” kata Budi, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Usulan ini disampaikan dengan tujuan agar layanan kesehatan dari BPJS Kesehatan tetap berkelanjutan.
Budi menyampaikan pasalnya kondisi keuangan BPJS Kesehatan secara historis terus mengalami defisit. Berdasarkan data Kemenkes, keuangan BPJS Kesehatan positif hanya pada 2016, 2019, 2020, 2021, dan 2022. Sementara sisa tahun lainnya selalu mengalami defisit.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan terakhir dilakukan pemerintah pada 2016 dan 2020. Pada 2023, pendapatan iuran BPJS Kesehatan sebesar Rp 151,7 triliun, sementara beban JKN yang harus dibayarkan Rp 158,9 triliun.
Lalu pada 2024, pendapatan iuran BPJS Kesehatan Rp 165,3 triliun dan beban Rp 175,1 triliun. Melihat kondisi tersebut, Budi menyebut iuran BPJS Kesehatan harus terus dikaji agar layanan kesehatan bisa berkelanjutan.
Namun dalam praktinya, program pembayaran iuran BPJS Kesehatan untuk masyarakat tertentu atau Penerima Bantuan Iuran (PBI) diketahui tidak tepat sasaran. Budi mengungkap terdapat masyarakat kaya dengan gaji Rp 100 juta per bulan masuk kategori PBI.
Berdasarkan data Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), sebanyak iuran 51% peserta BPJS Kesehatan ditanggung pemerintah, baik itu PBI dan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).
Masyarakat Indonesia yang tergolong PBI mencapai 96,8 juta orang atau 34% dari jumlah penduduk. Pembayaran iuran BPJS Kesehatan kepada PBI tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 76 Tahun 2015 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan.
Penulis: Hari Tri W





