Pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Marsinah dan Soeharto. Dua nama yang saling berhadap-hadapan, Marsinah sebagai aktivis yang terbunuh, dan Soeharto sebagai penguasa yang dituntut atas kematiannya.
10 November 2025 menjadi hari yang akan diingat oleh masyarakat Indonesia, di mana negara memberi penghargaan dan gelar pahlawan kepada seorang pembunuh dan korban sekaligus.
Marsinah adalah seorang buruh perempuan di PT Catur Putra Surya, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada Mei 1993, ia aktif memperjuangkan hak-hak buruh, termasuk menolak Surat Keputusan Gubernur tentang upah minimum yang dianggap merugikan pekerja.
Setelah ikut aksi mogok kerja dan menyampaikan tuntutan ke Disnaker, Marsinah menghilang. Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan di hutan Wilangan, Nganjuk, dengan tanda-tanda penyiksaan berat.
Pakar forensik Abdul Mun’im Idries menemukan berbagai kejanggalan visum saat diminta jadi saksi ahli meringankan kasus tersebut di persidangan. Mun’im menemukan banyak kejanggalan dalam visum yang dikeluarkan RSUD Nganjuk atas kematian Marsinah. Visum yang hanya satu lembar itu menulis Marsinah tewas akibat pendarahan dalam rongga perut. Titik.
Mun’im membongkar skandal kematian itu. Sebab visum yang dibuat RSUD Nganjuk tidak menjelaskan apa-apa tentang penyebab kematian Marsinah.
Dalam wawancara dengan sejumlah media, almarhum Mun’im menyebut Marsinah tewas setelah lobang kemaluanya ditusuk dengan ujung senjata api dan ditembakkan. Hal ini membuat sejumlah tulang pinggul dan kemaluan hancur berkeping-keping.
Buku berjudul “Marsinah: Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan” yang ditulis Alex Supartono dengan epilog Munir S.H. mengungkap kasus pembunuhan Marsinah yang diawali dengan demonstrasi buruh di PT CPS pada 3 Mei 1993, disusul PHK di Kodim 0816 Sidoarjo dua hari kemudian yang disertai pengakuan para buruh PHK.
Buku ini juga menceritakan usaha penyelidikan babak pertama yang gagal karena pembebasan “kambing hitam” oleh Mahkamah Agung, beserta pengakuan para kambing hitam yang disiksa untuk mengaku sebagai pembunuh Marsinah.
Alex Supartono juga menulis kasus Marsinah adalah gambaran nyata simbiosis mutualisme pengusaha dan penguasa lokal. Penguasa lokal melindungi perusahaan dengan cara menindas setiap usaha buruh dalam menuntut hak-haknya dalam unjuk rasa, sehingga alokasi dana yang seharusnya menjadi hak buruh bisa mengalir ke mereka, atau dikenal dengan “biaya siluman”.
Seperti halnya PT CPS sebagai produsen jam tangan, mereka juga memproduksi jam tangan khusus untuk kepolisian dan korps marinir lengkap dengan logo, lambang, kesatuan, desain khusus, dan tentunya juga dengan harga khusus.
Bahkan setelah kasus ini muncul pun buruh-buruh PT CPS tetap tidak mendapatkan perbaikan, tunjangan, dan kondisi kerja. Proses penyidikan Marsinah jelas menunjukkan kelemahan KUHAP dan juga menjadi tampilan telanjang dari sebuah politik kekerasan dalam mempertahankan kekuasaan.
Dalam konteks kekerasan penyidikan, Alex menyoroti bagaimana kuatnya campur tangan kekuasaan pada lembaga peradilan. Model-model penyiksaan tersebut memperlihatkan struktur politik kekerasan, di mana korban dipojokkan pada posisi tertentu menggunakan alat-alat paksa dan siksa.
Sementara Soeharto adalah simbol otoritarianisme, dengan catatan panjang pelanggaran HAM, termasuk tragedi 1965, penculikan aktivis, dan kematian Marsinah yang terjadi dalam iklim represif Orde Baru. Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
Penyandingan Marsinah dan Soeharto dalam satu daftar pahlawan nasional membuka ruang refleksi tentang; siapa yang berhak disebut pahlawan dan bagaimana negara merekonstruksi ingatan sejarah.
Sebagian kalangan melihat ini sebagai upaya rekonsiliasi simbolik, sementara lainnya menilai sebagai manipulasi politik untuk meredam kritik terhadap masa lalu.
Penulis: Hari Tri Wasono*
*)Penulis adalah CEO Bacaini.ID





