Bacaini.ID, JAKARTA – Pemerintah tengah mempersiapkan kebijakan redenominasi rupiah yang akan menghapus tiga digit nol dari mata uang nasional. Langkah ini dinilai bukan sekadar penyederhanaan angka, melainkan strategi untuk mendorong transparansi ekonomi dan mengungkap peredaran uang tunai ilegal di masyarakat.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa kebijakan ini telah masuk dalam Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2025–2029 dan ditargetkan rampung pada 2027. “Bayangkan, Rp100.000 akan menjadi Rp100 saja. Sederhana, bukan?” ujarnya di Gedung Djuanda, Jakarta.
Penukaran Uang Jadi Titik Awal Deteksi
Dalam skema redenominasi, masyarakat diwajibkan menukar uang lama dengan uang baru dalam periode terbatas. Untuk nominal besar, penukaran akan disertai verifikasi identitas dan sumber dana. “Ini bukan untuk menyulitkan masyarakat biasa, tapi untuk memastikan transparansi,” tegas Purbaya.
Kementerian Keuangan memprediksi bahwa proses penukaran ini akan menjadi momen krusial untuk mengidentifikasi penimbun uang tunai, koruptor, dan pengemplang pajak.
“Mereka yang punya uang bersih tidak akan kesulitan. Yang bermasalah adalah mereka yang uangnya berasal dari sumber tidak jelas,” ujar seorang pejabat senior Kemenkeu yang enggan disebutkan namanya.
Koordinasi dengan KPK dan DJP
Untuk mendukung kebijakan ini, Kementerian Keuangan telah berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Direktorat Jenderal Pajak. Setiap transaksi penukaran di atas Rp50 juta (setara Rp50 dalam denominasi baru) akan dicatat dan dianalisis menggunakan algoritma khusus.
“Kami sudah menyiapkan sistem untuk mendeteksi pola penukaran yang mencurigakan,” ungkap Direktur Jenderal Pajak dalam rapat koordinasi tertutup pekan lalu.
Efek Psikologis dan Digitalisasi Ekonomi
Purbaya menilai redenominasi akan menciptakan efek psikologis yang mendorong masyarakat untuk lebih memilih sistem perbankan formal daripada menyimpan uang tunai. “Orang akan berpikir dua kali sebelum menyimpan uang dalam jumlah besar,” katanya.
Langkah ini juga sejalan dengan upaya pemerintah mendorong ekonomi digital dan memperluas basis pajak. Data Bank Indonesia menunjukkan sekitar Rp800 triliun uang tunai beredar di masyarakat, sebagian besar belum tercatat dalam sistem perpajakan.
Pemerintah berencana meluncurkan kampanye sosialisasi masif mulai 2026, melibatkan tokoh masyarakat, ulama, dan influencer untuk menjelaskan bahwa redenominasi tidak akan mengurangi daya beli. Periode penukaran akan berlangsung selama 12 bulan.
Bank Indonesia telah menyiapkan infrastruktur teknologi untuk mendukung proses ini, termasuk integrasi sistem digital dengan database perpajakan dan perbankan.
Tantangan dan Pengawasan Internasional
Meski optimis, Purbaya mengakui bahwa redenominasi bukan solusi tunggal atas masalah ekonomi. “Keberhasilannya tergantung pada dukungan semua pihak,” ujarnya.
Ekonom INDEF, Dr. Eko Listiyanto, menyebut strategi ini sebagai langkah berani namun berisiko. “Jika berhasil, ini akan menjadi terobosan besar dalam pemberantasan korupsi dan peningkatan kepatuhan pajak,” katanya.
Sementara itu, pengamat internasional mulai menyoroti rencana Indonesia ini. Negara-negara seperti India yang pernah melakukan demonetisasi pada 2016 disebut tengah mengamati perkembangan kebijakan redenominasi Indonesia.
Dengan target pengesahan RUU Redenominasi pada 2027, pemerintah kini tengah mempersiapkan desain uang baru, protokol keamanan, dan sistem pendukung lainnya.
“Ini bukan hanya tentang mengubah angka di uang. Ini tentang mengubah perilaku ekonomi masyarakat Indonesia menuju yang lebih transparan dan akuntabel,” tutup Purbaya.
Redenominasi rupiah diperkirakan akan mulai diimplementasikan setelah RUU disahkan, dengan masa transisi yang dirancang untuk memastikan kelancaran dan stabilitas ekonomi nasional.
Penulis: Danny Wibisono
Editor: Hari Tri Wasono





