Ringkasan Berita
- Sesuai data ILO, angka pengangguran usia produktif di Asia makin tinggi
- Dari 10 negara dengan angka pengangguran tertinggi di Asia, India menempati peringkat pertama dan Indonesia posisi kedua
- Tingginya angka pengangguran di Asia dampak dari pandemi Covid-19
Bacaini.ID, KEDIRI – Krisis lapangan kerja atau banyaknya angka pengangguran di usia produktif tengah melanda Asia.
Menurut data terbaru dari International Labour Organization (ILO) dalam laporan Global Employment Trends for Youth 2024, tingkat pengangguran pemuda di Asia dan Pasifik mencapai 13% pada 2023, setara 64,9 juta orang yang tidak bekerja.
Ini adalah angka terendah dalam 15 tahun, namun masih lebih tinggi daripada rata-rata global pra-pandemi.
Di tengah pemulihan pasca-COVID-19, jutaan pemuda di negara-negara seperti India, Indonesia, dan Tiongkok berjuang mencari pekerjaan layak.
Sementara negara maju seperti Singapura dan Jepang menunjukkan situasi yang lebih baik.
10 Negara dengan Pemuda Pengangguran Terbanyak di Asia
Menurut beberapa data global yang dirangkum oleh Seasia Stats, berikut 10 negara dengan pemuda pengangguran tertinggi di Asia:
• India, 17,6%
Data terakhir dari ILO, India menempati posisi teratas dengan 17,6% pemuda ‘nganggur’.
• Indonesia, 17,3%
Beda tipis dengan India, Indonesia menjadi negara kedua di Asia yang memiliki tingkat pengangguran tinggi.
• Tiongkok Daratan, 16,5%
Tiongkok daratan, dengan kelas lulusan terbesar dalam sejarahnya, 12,22 juta pada 2025, menghadapi tingkat 16,5% pada 2024.
Namun metodologi pengukuran baru di negara tersebut, menurunkan angka resmi menjadi 14,9% pada Januari 2024.
• Taiwan, 11,0%
• Malaysia, 9,9%
Di Malaysia, meskipun tingkat pengangguran keseluruhan turun menjadi 3,2% pada kuartal ketiga 2024, pengangguran pemuda tetap tinggi.
Ini mencerminkan ketidakseimbangan antara lulusan perguruan tinggi dan permintaan pasar kerja.
• Hongkong, 9,9%
• Australia, 9,5%
Walaupun secara teknis negara ini bukan bagian Asia, namun secara statistik Australia seringkali digabungkan dengan Asia.
• Singapura, 7,5%
• Korea Selatan, 7,2%
• Jepang, 4,2%
Benarkah Banyaknya Pengangguran Merupakan Efek Pandemi?
Di Asia Tenggara, efek pandemi terjadi dengan hampir satu dari dua pemuda bekerja di sektor yang paling terdampak, seperti ritel dan manufaktur.
Dikutip dari Development Asia, lonjakan pengangguran hingga 22% terjadi di Sri Lanka pada 2020.
Namun selain itu, krisis pengangguran pemuda di Asia dilaporkan berakar pada kombinasi faktor struktural dan eksternal. Pertama, dampak pasca-pandemi tidak merata.
Laporan ADB-ILO Tackling the COVID-19 Youth Employment Crisis in Asia and the Pacific menyebutkan ‘triple shock’: hilangnya pekerjaan, gangguan pendidikan, dan kesulitan transisi dari sekolah ke dunia kerja.
Faktor selanjutnya adalah ketidakcocokan keterampilan atau kills mismatch.
Banyak pemuda lulusan universitas terlalu fokus pada gelar akademis, sementara pasar kerja membutuhkan keterampilan vokasi dan digital. Dan kini, otomatisasi dan AI memperburuk keadaan.
Ketidakpastian ekonomi global juga menjadi pemicu meningkatnya tingkat pengangguran pemuda.
Perang dagang AS-Tiongkok dan inflasi pasca-pandemi menekan penciptaan lapangan kerja.
Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, ketergantungan pada pekerjaan informal dilaporkan mencapai 70% bagi pemuda, mengancam stabilitas pendapatan jangka panjang.
Dampak Jangka Panjang: Ancaman Stabilitas Sosial
Pengangguran pemuda bukan sekedar statistik, ia menciptakan efek domino.
Secara ekonomi, ‘scarring effect’ mengurangi pendapatan seumur hidup hingga 10-15%, menurut profesor ekonomi Zhang Yifan dari Chinese University of Hong Kong.
Mengutip data ILO, 144,9 juta pemuda bekerja di Asia namun hidup dalam kemiskinan pada 2023. Inilah yang menghambat konsumsi dan pertumbuhan.
Di beberapa negara yang mengalami demonstrasi besar-besaran beberapa waktu terakhir, selain masalah korupsi, masalah lapangan pekerjaan yang sempit juga menjadi highlight yang patut diperhatikan dan diatasi.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif