Bacaini.ID, JAKARTA – Suara adzan Ashar baru saja usai ketika bangunan musala Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo tiba-tiba runtuh pada 29 September 2025. Sebanyak 67 nyawa santri melayang dan puluhan lainnya terluka.
Tragedi ini bukan sekadar kecelakaan konstruksi biasa, tetapi cermin retaknya sistem pendidikan pesantren yang mengabaikan keselamatan santri demi penghematan biaya.
Bangunan tiga lantai itu dibangun tanpa pengawasan insinyur sipil profesional. Pengecoran lantai atas yang baru selesai beberapa jam sebelum kejadian, fondasi lama yang tak mampu menahan beban tambahan, dan ketiadaan perhitungan struktural yang memadai menjadi resep sempurna bagi bencana yang dapat dicegah.
Jauh sebelum tragedi Sidoarjo, praktik-praktik bermasalah di dunia pesantren sebenarnya sudah lama mengundang keprihatinan. Salah satunya adalah fenomena santri yang dipekerjakan untuk kepentingan pribadi kyai dengan dalih “ngalap berkah”, sebuah eufemisme yang menutupi dinamika tenaga kerja anak.
Edward Dewaruci dari Surabaya Children Crisis Center menegaskan bahwa tidak semua keterlibatan santri dalam pekerjaan fisik otomatis dikategorikan sebagai eksploitasi. Namun, jika ada unsur pemaksaan, ancaman, atau keuntungan ekonomi yang dinikmati pihak tertentu, maka hal tersebut sudah masuk kategori pelanggaran hak anak.
“Anak usia 13-16 tahun baru relatif mampu melakukan aktivitas ringan yang bersifat mendidik, bukan pekerjaan konstruksi berisiko tinggi,” jelasnya.
Realitanya, banyak santri yang bekerja sebagai kuli bangunan, membersihkan rumah kyai, atau menggarap sawah milik pesantren tanpa kompensasi yang layak. Yang lebih memprihatinkan, santri tidak memiliki pilihan untuk menolak karena struktur hierarki pesantren yang menempatkan kyai sebagai figur yang tidak boleh dibantah.
Skandal Dana BOS Al-Zaytun
Persoalan transparansi keuangan pesantren mencuat ke permukaan melalui kasus Panji Gumilang, pimpinan Pondok Pesantren Al-Zaytun di Indramayu. Jaksa Penuntut Umum mendakwa Panji telah mengalihkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke rekening pribadinya selama periode 2014-2023.
Dana yang seharusnya digunakan untuk operasional pendidikan santri justru digunakan untuk membayar utang pribadi yang mencapai puluhan miliar rupiah serta membeli aset properti yang didaftarkan atas nama pribadi dan keluarga. Modus ini dilakukan dengan mencampuradukkan dana yayasan dengan kekayaan pribadi untuk menyamarkan jejak tindak pidana.
Kasus ini mengungkap lemahnya sistem pengawasan pengelolaan dana BOS di pesantren. Meskipun Kementerian Agama telah menyalurkan Rp196,86 miliar untuk lebih dari 590 ribu santri pada 2025, mekanisme kontrol dan transparansi masih jauh dari memadai.
Lemahnya Perlindungan Hukum
Ketiga kasus ini; eksploitasi santri, penyalahgunaan dana BOS, dan kelalaian konstruksi, menunjukkan pola yang sama, yakni lemahnya perlindungan hukum terhadap santri. Pengawasan pemerintah terhadap pesantren masih minim, banyak pesantren beroperasi tanpa standar nasional yang jelas, dan tidak ada mekanisme evaluasi yang ketat.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono mengungkap fakta mengejutkan: hanya sekitar 50 pondok pesantren di Indonesia yang memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dokumen yang menunjukkan bangunan telah memenuhi standar teknis dan keselamatan.
“Standar bangunan aman harus dipatuhi tidak hanya untuk pondok pesantren, tetapi juga untuk sekolah, kampus, rumah sakit, dan fasilitas publik lainnya,” tegas AHY.
Reformasi Mendesak
Tragedi demi tragedi ini menuntut reformasi menyeluruh sistem pesantren. Pemerintah harus segera menetapkan standar nasional yang ketat untuk operasional pesantren, mulai dari aspek keselamatan bangunan, transparansi keuangan, hingga perlindungan hak santri.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang mulia tidak boleh menjadi tempat eksploitasi atau penelantaran. Santri berhak mendapat perlindungan, pendidikan berkualitas, dan lingkungan yang aman, bukan menjadi korban dari sistem yang mengutamakan kepentingan pengelola di atas keselamatan anak didik.
Sudah saatnya dunia pesantren berbenah. Karena pendidikan yang sejati tidak pernah dibangun di atas penderitaan santri, melainkan di atas fondasi perlindungan, transparansi, dan rasa hormat terhadap hak asasi manusia.
Penulis: Danny Wibisono