Ringkasan Berita
- Oknum FPDIP DPRD Kabupaten Blitar diputuskan Badan Kehormatan (BK) melanggar kode etik atas perbuatannya menelantarkan anak istri
- Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Blitar hanya menjatuhkan sanksi teguran lisan atau tertulis
- Badan Kehormatan (BK) jelang mengeluarkan rekomendasi putusan kepada pimpinan DPRD terungkap melakukan pertemuan gelap dengan terlapor
Bacaini.ID, BLITAR – Anggota DPRD Kabupaten Blitar dari Fraksi PDI Perjuangan (FPDIP) diputuskan melakukan pelanggaran kode etik.
Oknum anggota FPDIP berinisial SW itu telah menelantarkan anak dan istri. Sejak hamil tua dan melahirkan anak, tidak pernah dinafkahi.
Putusan pelanggaran etik dibacakan Ketua Badan Kehormatan (BK) dalam paripurna pimpinan DPRD Kabupaten Blitar pada Senin malam (6/10/2025).
“Keputusan Badan Kehormatan melanggar kode etik dengan sanksi pasal 20 huruf A,” ujar Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blitar M Rifai kepada Bacaini.ID Senin malam (6/10/2025).
Baca Juga: Telantarkan Anak, Oknum FPDIP DPRD Blitar Diputus Melanggar Etik
Informasi yang dihimpun, sanksi pelanggaran kode etik yang dijatuhkan sesuai pasal 20 ada 2. Yakni sanksi ringan berupa teguran lisan atau teguran tertulis.
Kemudian sanksi sedang berupa pemberhentian dari jabatan pimpinan DPRD atau pimpinan alat kelengkapan dewan.
Sementara penanganan laporan dugaan penelantaran anak istri oleh oknum FPDIP diketahui berlangsung cukup panjang: 4 bulan. Berikut perjalanan waktunya.
Baca Juga: Skandal Pertemuan BK DPRD Blitar Diusut, Pimpinan: Kenapa Bertemu?
Laporan masuk BK 2 Juni 2025
Dugaan penelantaran anak istri dilaporkan perempuan berinisial RD (30) warga Kecamatan Ponggok Kabupaten Blitar.
Laporan disertai sejumlah bukti secara resmi masuk Badan Kehormatan (BK) DPRD Kabupaten Blitar pada 2 Juni 2025.
Dalam laporannya RD mengaku dinikahi oknum anggota FPDIP berinisial SW secara siri. Sejak hamil tua dan melahirkan, ia mengaku telah ditelantarkan.
Oknum FPDIP yang sudah beristri itu tiba-tiba menghilang. Tidak ada nafkah dalam bentuk apapun. RD menuntut keadilan.
Terutama untuk status hukum anak yang saat ini berumur 2,5 tahun dan masa depannya. RD minta kepastian.
Baca Juga: Pertemuan ‘Gelap’ BK DPRD Blitar dan Oknum FPDIP Terlapor Penelantar Anak
Ketua BK DPRD Kabupaten Blitar Anik Wanhjuningsih sejak laporan masuk menyatakan siap memproses sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Proses berjalan. Sesuai mekanisme yang berlaku, para pihak (pelapor dan terlapor) dipanggil untuk upaya mediasi. Pertemuan diketahui berlangsung tertutup.
Skandal pertemuan gelap jelang rekomendasi
Proses mediasi berlangsung lancar, namun tidak ada titik temu. Hingga mediasi tahap akhir, titik temu tidak tercapai.
Kuasa hukum pelapor Khoirul Anam menegaskan, yang dilakukan oknum FPDIP adalah jelas-jelas pelanggaran etik. Ada martabat yang dicederai.
Kata Anam lucu kalau yang bersangkutan tidak sampai diberi sanksi. Keterangan Anam menepis perspektif perbuatan SW di luar tugasnya sebagai wakil rakyat.
Baca Juga: Ini Sikap Pimpinan DPRD Blitar di Kasus Penelantaran Anak Istri
Ketua BK Anik Wahjuningsih menjelang penyerahan rekomendasi kepada pimpinan terungkap melakukan pertemuan di sebuah kafe dengan terlapor.
Anik ditemani 2 anggota BK, masing-masing dari fraksi PDIP dan PAN. Sementara 2 anggota BK yang lain tidak terlihat dalam pertemuan.
Informasi yang dihimpun, pertemuan antara BK dan terlapor diduga sudah dirancang. Awalnya berencana di luar kota bersamaan acara dinas.
Namun karena ada anggota BK yang tidak bisa hadir, kemudian diubah. Pertemuan kemudian dilakukan Minggu 28 September 2025 di sebuah kafe di Kota Blitar.
Pertemuan BK dengan terlapor di saat perkara masih berjalan dikecam kuasa hukum pelapor. BK dinilai tidak paham etika dan dicurigai melakukan kongkalikong.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Blitar M Rifai menyesalkan pertemuan itu. Apapun alasannya harusnya tidak terjadi. Apalagi rekomendasi belum diserahkan pimpinan.
Selang sehari kepergok melakukan pertemuan, BK menyerahkan rekomendasi kepada pimpinan DPRD. Rapat paripurna pimpinan digelar Senin malam (6/10/2025).
Menurut M Rifai, pelanggaran kode etik merupakan keputusan Badan Kehormatan. Dalam hal ini pimpinan DPRD hanya memfasilitasi.
“Pimpinan hanya memfasilitasi paripurna. Keputusan itu (pelanggaran kode etik) adalah keputusan badan kehormatan,” kata Rifai.
Kemudian karena terlapor bukan pimpinan dewan maupun pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD), maka rapat paripurna tidak mengambil keputusan.
Kata Rifai keputusan cukup di badan kehormatan. Selanjutnya pimpinan dewan menyerahkan kepada pimpinan partai yang bersangkutan.
Partai yang berwenang sepenuhnya menjatuhkan hukuman kepada oknum dewan yang telah dinyatakan melanggar kode etik.
“Ada sanksi atau tidak terserah partai. Semua telah selesai,” tegas Rifai.
Sementara dari informasi yang dihimpun, sanksi pelanggaran kode etik yang dijatuhkan sesuai pasal 20 ada 2.
Yakni sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis. Kemudian sanksi sedang berupa pemberhentian dari jabatan pimpinan DPRD atau pimpinan alat kelengkapan dewan.
Sementara oknum FPDIP yang dijatuhi sanksi diketahui bukan pimpinan DPRD maupun pimpinan alat kelengkapan dewan.
Penulis: Tim Redaksi
Editor: Solichan Arif