Bacaini.ID, KEDIRI – Pencabutan kartu identitas (ID) liputan Istana milik jurnalis CNN Indonesia Diana Valencia oleh Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden mendapat kecaman Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Pencabutan ID Pers Istana disebabkan Diana bertanya seputar program makan bergizi gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo sesaat setelah kembali dari lawatan luar negeri di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu 27 September 2025.
Pencabutan ID Pers Istana dilakukan karena pertanyaan yang diajukan Diana dinilai di luar konteks. Pihak istana hanya ingin wartawan bertanya tentang seputar kegiatan Presiden Prabowo dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
AJI Indonesia menilai yang dilakukan istana merupakan pembatasan pada kerja-kerja jurnalis yang memiliki kebebasan bertanya masalah-masalah terkait kepentingan publik kepada presiden.
“AJI Indonesia menilai, dalih ini merupakan bentuk sensor dan merusak kebebasan pers,” tulis Nany Afrida, Ketua Umum AJI Indonesia dalam rilis pernyataan sikap yang diluncurkan Minggu (28/9/2025).
Dalam kasus pencabutan kartu ID Pers liputan Istana ini AJI Indonesia telah menerima informasi, ada instruksi untuk wartawan istana agar tidak menanyakan masalah MBG kepada presiden.
Namun Diana memilih tetap bertanya sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai jurnalis kepada publik yang berhak tahu tentang apa sikap presiden terkait ribuan siswa keracunan akibat MBG.
Setelah peristiwa yang terjadi pada siang hari itu (bertanya soal MBG kepada presiden), pihak Biro Pers Istana melalui salah seorang stafnya menanyakan keberadaan Diana. Saat itu, Diana menjawab dirinya berada di kantor.
Sekitar pukul 20.00 WIB, perwakilan Biro Pers Istana mendatangi kantor CNN Indonesia untuk mengambil kartu identitas liputan Istana yang digunakan Diana.
Saat ditanyakan alasan penarikan tersebut, pihak Biro Pers Istana menyebut “pertanyaan Diana tidak sesuai konteks”.
AJI Indonesia juga mengecam tindakan Biro Pers Istana ini bentuk represi, karena mereka melakukan penekanan kepada jurnalis yang bertugas tentang pertanyaan apa yang boleh dan tidak boleh ditanyakan kepada Presiden Prabowo.
Jelas, penyensoran sekaligus pencabutan kartu identitas liputan Istana ini adalah bentuk rusaknya demokrasi Indonesia. AJI Indonesia melihat, ini merupakan upaya pembungkaman pers atau jurnalis yang kritis.
Akibat represi ini, Diana Valencia tidak bisa lagi mengakses liputan di Istana karena kartu identitas liputannya dicabut sewenang-wenang. Pemerintah harus tahu, jurnalis bekerja untuk publik, bukan untuk melayani kemauan dari Presiden Prabowo apalagi Biro Pers Istana.
Pembatasan kerja-kerja jurnalis terkait permasalahan MBG ini bukan kali pertama terjadi. Yang dilakukan Biro Pers Istana ini menjadi kasus yang kesekian kalinya, perangkat negara melakukan penghalang-halangan dan kekerasan terhadap jurnalis ketika meliput permasalahan MBG.
AJI Indonesia mencatat, sejumlah jurnalis di berbagai daerah mengalami intimidasi dari aparat negara ketika meliput soal MBG. Misalnya di Semarang, Lombok Timur dan Sorong.
Segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis tidak boleh dibiarkan. Untuk itu, AJI Indonesia menyatakan sikap:
1.Mengecam keras tindakan represi berupa pembatasan materi pertanyaan kepada Presiden Prabowo Subianto karena merupakan tindakan menyensoran yang bertentangan dengan Pasal 4 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan bahwa pers nasional bebas dari penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”
2.Pencabutan kartu identitas liputan ini menghambat kebebasan pers yang diatur Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang pers, yang menyatakan “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi tugas wartawan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.”
3.Pemerintah dalam hal ini, Biro Pers Istana telah melanggar hak wartawan untuk mencari dan menyebarkan informasi sebagaimana dilindungi oleh Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tetang Pers dan Pasal 28 F ayat (1) UUD 1945.
4.Memecat dan mengganti pihak-pihak yang melakukan dan terlibat upaya penyensoran dan penghalang-halangan kerja jurnalis ini dan hukum sesuai pidana pers yang diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Tetang Pers.
5.Menuntut Presiden Prabowo Subianto meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat karena kerja-kerja jurnalis merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi masyarakat atas informasi.
6.Mengingatkan kembali kepada pemerintah agar tidak sewenang-wenang mengendalikan, mengontrol, membatasi sampai melarang jurnalis menjalankan tugasnya sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 Tetang Pers.
Gunakan hak jawab jika merasa suatu pemberitaan dianggap melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Penulis: Solichan Arif