Bacaini.ID, KEDIRI – Soeharto bingung ketika tentara Jepang meminta pasukan Pembela Tanah Air (PETA) untuk bubar. Mereka baru saja selesai latihan rutin.
Mereka yang dibina Soeharto adalah sisa-sisa tentara PETA yang terlibat pemberontakan Shodanco Soeprijadi di Blitar. Pemberontakan yang gagal.
Para pimpinan PETA Blitar diadili di Jakarta dan dijatuhi hukuman mati di kawasan Ancol. Soeprijadi sendiri tidak jelas kabarnya.
Sementara sisa-sisa pasukan yang menyerah dilucuti dan dibawa ke Brebeg Nganjuk, Jawa Timur. Jepang menempatkan mereka di lereng Gunung Wilis.
Berada di sebuah desa yang dikelilingi belantara hutan cemara. Yang konon masih banyak berkeliaran laba-laba hitam beracun.
“Soeharto dikirim ke Brebeg, melatih anggota Peta yunior untuk menjadi bundancho, sehingga dapat menggantikan senior mereka yang ditahan Jepang,” demikian dikutip dari buku Soeharto Di Bawah Militerisme Jepang.
Pada 18 Agustus 1945 Soeharto belum tahu kalau Indonesia telah merdeka. Tidak tahu proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jakarta.
Ia masih berada di Nganjuk mengenakan seragam tentara PETA. Masih mendisiplinkan sisa-sisa pasukan batalyon PETA Blitar.
“Begitu saya selesai melatih prajurit-prajurit Peta tersebut, kami diperintahkan bubar,” kata Soeharto seperti dikutip dari buku Soeharto Di Bawah Militerisme Jepang.
Soeharto diketahui baru 22 bulan bergabung di PETA. Soeharto sebelumnya didikan KNIL (Tentara Belanda). Ia terdaftar di KNIL sejak 1 Juni 1940.
Kemudian loncat ke PETA setelah Belanda kalah oleh Jepang. Soeharto memulai karir dari sukarelawan pasukan Kepolisian Jepang, Keibuho.
Sejak 1 Desember 1942 ia terdaftar di Keibuho Yogyakarta bersama beberapa rekannya.
Pada 8 Oktober 1943, Soeharto diangkat sebagai Shodanco (Komandan peleton) dan ditempatkan di wilayah Wates, Yogyakarta.
Pada tahun 1944 ia diangkat menjadi Chudanco setelah sebelumnya mengikuti pendidikan militer lanjutan di Bogor Jawa Barat.
Di asrama PETA Bogor ia tinggal bersama Shodanco Singgih, putra Panji Singgih, teman Bung Karno dalam pergerakan nasional.
Singgih bersama Sukarni terlibat penculikan Bung Karno dan Bung Hatta yang dikenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Antara akhir 1944 hingga awal 1945 Soeharto mondar-mandir di wilayah Solo, Jakarta dan Madiun. Sebelum kemudian ditugasi di Brebeg Nganjuk mulai Maret 1945.
Pada 19-20 Agustus 1945 tentara ke-16 AD Jepang menyatakan PETA telah bubar. Sebanyak 13.000 pucuk senjata ditarik tanpa adanya insiden.
Beberapa bekas perwira PETA diam-diam muncul di lereng Wilis Nganjuk, mengabarkan informasi pembubaran itu.
Soeharto dan seluruh sisa-sisa pasukan PETA dibebaskan pulang ke kampung halaman masing-masing.
Soeharto termasuk dari sebanyak 2.150 perwira PETA yang dibubarkan dan sekaligus dilucuti.
Jepang memberikan bayaran 6 bulan gaji. Juga jatah pakaian serta bahan makan berupa beras, garam dan gula.
Soeharto memutuskan pulang ke Yogyakarta. Sebab ia tidak memiliki hubungan dengan jaringan pergerakan nasional.
Di tengah jalan ia mendengar kabar proklamasi kemerdekaan. Mendengar Jepang telah kalah perang, menyerah kepada Sekutu.
Pada akhir Agustus 1945 Soeharto tiba di Yogyakarta. Ia melihat sendiri suasana revolusi kemerdekaan. Mendengar pekik merdeka bergaung di mana-mana.
Soeharto merasa takjub. Ia memutuskan tidak pulang ke Kemusuk, Godean, kampung kelahirannya, tapi bertahan di Kota Yogyakarta.
“Ia merobah rencana pulang ke kampung asalnya dan memutuskan untuk tinggal di kota revolusi ini,” demikian dikutip dari buku Anak Desa Biografi Presiden Soeharto.
Nasib baik mengiringi. Pada 5 Oktober 1945, Soeharto yang bukan siapa-siapa di kancah pergerakan nasional ditunjuk sebagai wakil komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal TNI.
Penulis: Solichan Arif