Bacaini.ID, KEDIRI – Tudingan budak Jepang pada detik-detik perumusan teks Proklamasi kemerdekaan Indonesia membuat suasana rumah Laksamana Maeda berubah panas.
Ungkapan sarkas itu dilontarkan oleh kaum muda. Sasarannya kelompok tua yang didalamnya ada Soekarno atau Bung Karno.
Tudingan kaum muda yang terdengar kasar itu cukup beralasan. Soekarno merupakan salah satu petinggi Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Sebuah organisasi bentukan penjajah Jepang (1942-1945). Tanpa peranan Soekarno, penjajah Jepang sulit mengerahkan massa pekerja paksa (Romusha).
Soekarno di Jawa Hokokai mendapat kedudukan penting. Jawa Hokokai atau Himpunan Kebaktian Jawa didirikan Jenderal Kumakici Harada 8 Januari 1944.
Kaum muda tak ingin para budak Jepang turut menandatangani naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Namun tudingan kaum muda tidak menyebut personal. Yang dimaksud budak Jepang adalah para tokoh tua yang dinilai bukan bagian pergerakan nasional.
Para golongan oportunis. Mereka yang dapat posisi kekuasaan karena mengabdikan diri pada rezim militer penjajah Jepang.
Yang merasa tertuding sontak meradang. Marah karena merasa telah dihina oleh anak-anak muda yang berani kurang ajar.
Pada 17 Agustus 1945 dini hari itu suasana rumah Laksamana Maeda mendadak gerah. Situasi berubah tegang.
“Karena pernyataan itu timbullah heboh, terutama dari pihak yang merasa dirinya disebut budak-budak Jepang,” demikian dikutip dari buku Seputar Proklamasi Kemerdekaan, Kesaksian, Penyiaran, dan Keterlibatan Jepang (2015).
Sukarni, salah satu perwakilan kaum muda, kemudian tampil ke muka.
Pemuda asal Sumberdiren, Garum, Blitar, Jawa Timur dan sekaligus kader Tan Malaka itu, menyodorkan pemikirannya.
Usulnya, teks Proklamasi Kemerdekaan cukup ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta, atas nama bangsa Indonesia.
Situasi yang sebelumnya panas seketika mereda. Usulan Sukarni diterima. Namun selanjutnya muncul perdebatan baru.
Usulan Sukarni untuk memasukkan narasi ‘merebut kekuasaan’ timbul pro dan kontra. Redaksional merebut kekuasaan dianggap sebagai pemaksaan.
“Apakah merebut itu berarti merebut senjata dari tangan prajurit Jepang yang menjalankan perintah Sekutu?,” demikian dikutip dalam buku Sutan Sjahrir, Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan.
Laksamana Maeda, Nishijima dan Miyoshi berada di ruangan. Mereka berpendapat kalau orang Jepang jelas bersimpati sekaligus mendukung kemerdekaan Indonesia.
“Tapi mereka juga tidak ingin membahayakan diri mereka sendiri”.
Perdebatan keras akhirnya selesai. Semua sepakat mengganti kalimat ‘merebut kekuasaan’ dengan narasi ‘pemindahan kekuasaan’.
Lewat pukul 04.00 Wib dini hari, naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia selesai dirumuskan.
Sayuti Melik, yang kelak menjadi suami S.K. Trimurti mulai mengetik naskah. Sayuti mendasarkan ketikan naskahnya pada draf yang sudah mengalami perubahan.
Bung Karno mengambil makanan di dapur untuk sahur. Kemudian melangkah ke luar ruangan.
Bung Hata menyusul setelah sebelumnya sahur dengan sekaleng ikan sarden campur telur. Orang-orang pergi satu persatu.
Pukul 05.00 WIB. Laksamana Maeda yang menyempatkan tidur, terjaga. Ia turun dari lantai dua. Melihat masih ada 2-3 orang bersantai di ruang tamu.
Wajah mereka terlihat letih lantaran kurang tidur. Laksamana Maeda mengambil minum dan menawarkan makanan kecil.
Di pintu depan terlihat fajar merah mulai merekah. Hari itu, tepat pukul 10.00 WIB, Soekarno bersama Mohammad Hatta mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Penulis: Solichan Arif