Bacaini.ID, KEDIRI – Jalan Malioboro menjadi salah satu destinasi paling ikonik di Yogyakarta.
Bukan hanya terkenal sebagai pusat belanja, Malioboro juga jadi saksi sejarah penting dalam perjuangan Indonesia.
Asal Usul Nama Malioboro
Ada dua pendapat utama mengenai penamaan jalan ini.
Yang pertama adalah nama Malioboro diyakini berasal dari bahasa Sanskerta ‘Malyabhara’, yang artinya karangan bunga.
Nama ini menggambarkan rasa hormat dan keindahan yang kerap digunakan dalam ritual kerajaan.
Pada masa lalu, jalan ini selalu dihiasi oleh karangan bebungaan saat diselenggarakan acara atau ritual kerajaan.
Sedangkan versi lainnya menyebutkan bahwa nama ini diambil dari ‘Marlborough’, nama keluarga bangsawan Inggris yang terkenal pada masa kolonial Belanda.
Nama ini kemudian digunakan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai nama jalan.
Selain itu terdapat dua versi lain tentang penamaan Jalan Malioboro. Ada yang berpendapat bahwa Malioboro diambil dari nama pesanggrahan yang terdapat di sana.
Selain itu versi lainnya menghubungkan filosofi setempat.
Nama Malioboro berasal dari gabungan kata malio yang berarti ‘jadilah wali’ dan kata boro yang berarti ‘mengembara’.
Malioboro Era Kolonial Belanda
Pada abad ke-18, pemerintah kolonial Belanda mulai membangun Malioboro sebagai jalan utama penghubung antara Keraton Yogyakarta dan Tugu Yogyakarta.
Jalan ini juga berfungsi sebagai jalan strategis yang menghubungkan perkampungan dan pusat pemerintahan pada masa itu.
Menurut catatan sejarah, Malioboro dibangun dengan tujuan untuk mempermudah pengangkutan barang dan orang dari kawasan Keraton Yogyakarta menuju Bandung dan Jakarta, yang jadi pusat pemerintahan kolonial.
Seiring berjalannya waktu, jalan ini terus berkembang menjadi pusat perbelanjaan dan aktivitas sosial masyarakat setempat.
Malioboro dalam Perjuangan Kemerdekaan
Malioboro tidak hanya menjadi bagian dari sejarah ekonomi, tetapi juga menjadi saksi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Salah satu momen penting adalah Serangan Umum 1 Maret 1949, yang merupakan pertempuran besar antara pasukan Indonesia dan Belanda di Yogyakarta.
Dalam serangan tersebut, kawasan sekitar Malioboro menjadi pusat pertempuran, di mana pasukan Indonesia menggunakan Malioboro sebagai jalur gerilya untuk menyerang pos-pos Belanda di sekitarnya.
Sebagai jalur strategis yang menghubungkan Keraton Yogyakarta dengan Tugu dan Gunung Merapi, Malioboro jadi titik pertemuan para pejuang Indonesia.
Malioboro menjadi simbol perlawanan yang kuat dalam sejarah Indonesia.
Transformasi Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Malioboro mengalami perubahan yang signifikan.
Seiring dengan berkembangnya industri pariwisata di Yogyakarta, jalan ini mulai dikenal lebih luas sebagai pusat perbelanjaan dan hiburan masyarakat.
Pada tahun 1970-an, Malioboro mulai dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang menawarkan berbagai macam kerajinan tangan, batik, dan souvenir khas Yogyakarta.
Pada 1980-an, pemerintah setempat mulai melakukan penataan kawasan Malioboro untuk lebih mendukung sektor pariwisata, termasuk pembangunan toko-toko modern dan hotel-hotel berbintang.
Transformasi ini juga diikuti dengan semakin berkembangnya kuliner yang khas, seperti sate klathak, bakpia, dan wedang ronde yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Malioboro Ikon Wisata dan Budaya
Sekarang, Malioboro telah bertransformasi menjadi ikon wisata yang menarik banyak wisatawan domestik dan mancanegara.
Data dari Dinas Pariwisata Yogyakarta menunjukkan Malioboro menjadi salah satu destinasi paling banyak dikunjungi di Yogyakarta, dengan lebih dari 5 juta pengunjung setiap tahunnya.
Ini menjadikannya sebagai kawasan yang sangat vital bagi perekonomian lokal.
Tak hanya pusat perbelanjaan, Malioboro juga menjadi pusat kesenian dan budaya.
Pada 2019, pemerintah Kota Yogyakarta meluncurkan Pedestrian Malioboro yang membuat kawasan ini lebih nyaman untuk berjalan-jalan.
Pedestrian ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas publik, seperti kursi taman, penerangan jalan, dan taman kecil, yang semakin menambah kenyamanan pengunjung.
Penulis: Bromo Liem
Editor: Solichan Arif