“Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results.” (artinya kegilaan adalah melakukan hal yang sama dan berulang kali namun ingin berharap menghasilkan hal yang berbeda), adalah ungkapan Albert Einstein.
Ungkapan bijak dari sang fisikawan jenius itu seolah menggema di lorong-lorong gedung pemerintahan Indonesia. Saat menatap cermin sejarah pemberantasan korupsi negeri ini, kita seperti menyaksikan siklus yang terus berulang—sebuah ironi yang mengonfirmasi kebenaran kata-kata Einstein.
Lingkaran Setan Korupsi dan Pemberantasannya
Pagi itu, Gedung KPK tampak lengang. Seorang penyidik senior menatap tumpukan berkas di mejanya—kasus suap yang kesekian. Ia tersenyum getir, teringat bagaimana selama lebih dari dua dekade, Indonesia telah mencoba berbagai pendekatan untuk memberantas korupsi, namun indeks persepsi korupsi negeri ini masih jauh dari membanggakan.
“Kita seperti hamster di dalam roda putar,” ujarnya pelan. “Berlari kencang tapi tetap di tempat yang sama.”
Transparency International mencatat, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 berada di angka 37 dengan peringkat 102 dari 180 negara. Meski sempat naik tipis menjadi 38 pada 2021 dengan peringkat 96, angka ini kembali turun menjadi 34 pada 2022 dan 2023 dengan peringkat 115. Baru pada 2024, skor ini kembali naik ke angka 37 dengan peringkat 99—sejajar dengan Argentina, Ethiopia, Lesotho, dan Maroko.
Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia masih tertinggal jauh dari Singapura yang mencatatkan skor 84 pada 2024, Malaysia (50), Timor-Leste (44), dan Vietnam (40).
Parade Janji yang Terus Berulang
Setiap pergantian presiden, janji pemberantasan korupsi selalu menjadi menu wajib kampanye politik. Dari era Soeharto hingga Prabowo Subianto, narasi “perang terhadap korupsi” seolah menjadi mantra yang tak pernah absen.
UU Nomor 31 Tahun 1999 junto Nomor 20 Tahun 2001 telah merumuskan 30 jenis korupsi jika sebelumnya pada pemerintah Presiden Suharto hanya terdapat 18 jenis korupsi, dengan praktik suap menduduki peringkat teratas. Ironisnya, praktik suap juga menjadi jenis korupsi yang paling banyak melibatkan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)—lembaga yang justru bertugas memberantas korupsi. Perlu diketahui beberapa APH di Indonesia yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman, KPK dan BNN.
Hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) Transparency International menunjukkan, DPR dipersepsikan sebagai lembaga negara paling korup, diikuti birokrasi pemerintah dan DPRD. Meski persepsi terhadap kepolisian membaik dari posisi terkorup pada 2013 menjadi peringkat kelima pada 2016, lembaga ini masih dianggap sebagai institusi dengan praktik suap paling sering ditemui masyarakat.
Prabowo dan Tantangan Memutus Lingkaran Setan
Presiden Prabowo Subianto, yang dilantik pada Oktober 2024, kembali mengusung janji memberantas korupsi. Beberapa strategi yang dicanangkan antara lain memperkuat posisi dan independensi KPK melalui revisi UU KPK, meninjau kembali proses seleksi pimpinan KPK, memprioritaskan penyelesaian kasus-kasus korupsi yang belum tuntas, serta membangun sistem integrasi nasional.
Langkah lain yang ditempuh adalah mendigitalisasi layanan publik, memperkuat sistem pengawasan internal, melakukan reformasi birokrasi, serta menjalin sinergi dengan seluruh elemen masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun, pertanyaan kritis tetap mengemuka: Akankah strategi ini benar-benar berbeda dari pendekatan presiden-presiden sebelumnya? Atau hanya mengulang pola yang sama dengan harapan hasil berbeda—sebuah definisi kegilaan menurut Einstein?
Paradoks Penegak Hukum Justru Banyak Terlibat Suap
Salah satu tantangan terbesar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah paradoks penegak hukum. APH dan BPK yang seharusnya menjadi garda terdepan justru sering terjerat kasus suap. Sementara itu, kedua lembaga ini lebih banyak mengejar kasus korupsi jenis merugikan keuangan negara.
“Ini seperti menyapu lantai dengan sapu yang kotor,” komentar Amien Sunaryadi, mantan pimpinan KPK dan aktivis anti-korupsi saat ditemui di sebuah diskusi publik. “Bagaimana mungkin memberantas korupsi jika pemberantasnya sendiri terlibat praktik korup?”
Survei GCB juga mencatat, 78% responden percaya warga biasa dapat melawan korupsi, dan 64% yakin pemerintah saat ini bekerja lebih baik dalam memberantas korupsi. Ketika ditanya apa yang telah mereka lakukan untuk melawan korupsi, jawaban paling umum adalah menolak membayar suap.
Memutus Lingkaran Setan
Jika mengacu pada ungkapan Einstein, Indonesia perlu melakukan sesuatu yang berbeda untuk mendapatkan hasil berbeda dalam pemberantasan korupsi. Pendekatan yang sama berulang kali terbukti tidak efektif. Amien Sunaryadi, salah satu mantan pimpinan KPK yang bertugas pada tahun 2003 – 2007 menyampaikan bahwa pendekatan dan cara pemberantasan korupsi dan salah satunya dengan modus suap harus menggunakan strategi yang berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. “Strategi tersebut harus tepat dan berbasis teknologi dan revolusioner, karena penyakit suap ini sudah mendarah daging”, ujar Amien kepada Bacaini.ID.
Salah satu gagasan kontroversial yang sempat dilontarkan adalah pemberian pengampunan bagi koruptor yang bersedia mengembalikan kerugian negara. Meski menuai pro-kontra dan dianggap bertentangan dengan hukum yang berlaku, gagasan ini menunjukkan adanya upaya mencari pendekatan berbeda.
Digitalisasi layanan publik juga menjadi salah satu strategi yang dianggap efektif mengurangi peluang korupsi. Sistem e-SAMSAT, e-Money untuk untuk pembayaran tol, pajak kendaraan dan pendaftaran SIM online, misalnya, telah membantu memperbaiki persepsi publik terhadap kepolisian, dinas pendapatan daerah dan jasa marga
Namun, perubahan mendasar yang diperlukan mungkin bukan sekadar pada sistem, melainkan pada budaya dan pola pikir. Selama korupsi masih dianggap sebagai jalan pintas yang menguntungkan, selama integritas masih dianggap sebagai kemewahan, bukan kebutuhan, selama masyarakat masih toleran terhadap praktik korupsi kecil-kecilan, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran setan.
Seperti kata Einstein, melakukan hal yang sama berulang kali namun mengharapkan hasil berbeda adalah definisi kegilaan. Sudah saatnya Indonesia keluar dari lingkaran setan ini, mencoba pendekatan yang benar-benar berbeda, dan membuktikan bahwa negeri ini bisa lebih baik dalam memberantas korupsi.
Strategi Digitalisasi, Big Data dan AI untuk Pemberantasan Korup si
Analis dari M-Data Analytics dari Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Andre Ardi menyampaikan bahwa salah satu cara pencegahan agar oknum APH dan BPK tidak tergoda atau terlibat dalam kasus korupsi dengan modus suap adalah dengan menerapkan digitalisai proses kerja di APH dan BPK dengan menggunakan e-Audit System yang berfungsi melakukan otomatisasi pemeriksaan dokumen anggaran menggunakan digital forensics, audit trail elektronik pada setiap transaksi atau akses dokumen, integrasi sistem e-budgeting dan e-procurement dengan dashboard pengawasan publik.
E-Prosecution & E-Judiciary yang digunakan oleh APH dari semua proses penanganan perkara dari pelaporan, penyelidikan, hingga putusan terekam dan terdigitalisai. Kejaksaan memiliki SIMKARI, Polri punya Pusiknas, Kehakiman memiliki portal putusan kehakiman meski kadang sering kita jumpai kasus-kasus tertentu dokumen tidak diupload secara terbuka. Hal ini untuk memberikan akses publik terhadap status kasus dan jadual sidang untuk menghindari “kasus hilang”.
Hal tidak kalah penting menurut Andre adalah pemanfaatan *Big Data Analytics* dan *Pattern Recognition untuk Anomali Keuangan* dengan *Cross-Agency Data Integration*. Penggabungan data dari BPK, KPK, PPATK, Kejaksaan, Kepolisian, Mahkamah Agung, Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, DJKN (Dirjen Kekayaan Negara), BNN dan Badan Intelijen Negara (BIN) sehingga analisis pola keterkaitan transaksi, lonjakan kekayaan dan konflik kepentingan pejabat.
Duplikasi National Single ID atau Data NIK (Nomor Induk Kependudukan) jangan terjadi lagi, apalagi hal itu adalah pidana kependudukan. Masih banyak kita jumpai dari informasi yang bocor di Darkweb ditemukan banyak para pejabat negara, oknum APH dan ASN memiliki e-KTP double dengan NIK yang berbeda. Padahal mestinya dengan sidik jari, biometric wajah dan retina tidak mungkin terjadi satu orang memiliki dua KTP. Namun ini masih terjadi. “Itu kan aneh, Dukcapil Depdagri harus melakukan data management dan data cleansing dengan baik”, ujar Andre Ardi.
Mendeteksi suap menurut Andre bagai penegak hukum dan pejabat negara dapat menggunakan Big Data dan AI dengan membandingkan dan menganalisa gaji, pendapatan lain, usaha keluarga, dengan data LHKPN, Laporan SPT Pajak dan data balikan NIK yang terkoneksi dengan data rekening perbankan, data investasi lain, data paspor yang terkoneksi dengan rekening di luar negeri sesama negara anggota FATF, data aset bergerak (Korlantas/Samsat) dan data aset tidak bergerak di ATR/BPN dan data AHU (kepemilikan saham di perusahaan) atas nama pejabat, atau keluarganya.
Saat ini menurut Andre sudah biasa anak pejabat APH, pejabat negara lainnya tiba-tiba tanpa memiliki pekerjaan dan penghasilan yang signifikan memiliki harta yang besar dan rekening jumbo. Keluarga pejabat, keluarga APH, anak ketua parpol, anak anggota DPR dan auditor tiba-tiba flexing di media sosial dengan gaya hidup mewah, kepemilikan barang mewah meski tidak memiliki usaha atau bisnis yang menghasilkan profit yang besar. Jika kemudian flexing-nya disorot masyarakat, tidak ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum untuk menyelidiki, sebatas sanksi sosial dihujat di media sosial. Hal ini saya berharap berubah di era kepemimpinan sekarang ini.
Hal ini dapat disalahgunakan untuk membuka rekening, membeli aset dengan KTP yang berbeda dan menggunakan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) dengan KTP yang berbeda dengan Laporan SPT Pajak. Dengan teknologi Big Data Analytics, AI dan Pattern Recognition hal ini akan mudah terdeteksi. Ego sentris antara instansi/lembaga untuk sharing data dan integrasi data juga harus dihilangkan.
Pertanyaannya: Akankah pemerintahan Prabowo Subianto mampu memutus lingkaran setan ini dan mengurangi celah penyimpangan dan manipulasi ini? Atau hanya akan menjadi pengulangan dari apa yang telah dilakukan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya?
Waktu yang akan menjawab. Namun satu hal yang pasti, jika Indonesia tetap melakukan hal yang sama, jangan berharap hasilnya akan berbeda. Seperti kata-kata yang diungkapkan Albert Einstein tadi.
Penulis : Danny Wibisono
Editor : Hari Tri Wasono