Bacaini.ID, NGAWI – Penyair Chairil Anwar pernah bertandang ke Paron, Kabupaten Ngawi Jawa Timur, daerah eks karesidenan Madiun yang dikenal gudangnya seniman tradisi.
Paron merupakan salah satu wilayah pinggiran Ngawi yang berjarak lebih 600 km dari Jakarta. Kelebihan Paron dilintasi jalur kereta api.
Chairil Anwar diketahui sedang menyusul Sumirat. Gadis asal Ngawi yang dikenalnya di sanggar melukis S Sudjojono, Affandi dan Basuki Abdullah di Jakarta.
Peristiwa perkenalan itu berlangsung pada medio 1943. Mirat begitu akrab disapa, berhasil mencuri hati Chairil. Kemenakan Sutan Sjahrir itu jatuh cinta.
Kedua sejoli itu kemudian berkasih-kasihan, dan dalam satu kesempatan Mirat pulang ke Ngawi dan Chairil bergegas menyusulnya.
Kedatangan Chairil Anwar diterima dengan baik oleh keluarga Mirat, meski cukup membuat mereka terkejut, terutama melihat penampilannya.
Chairil tiba dengan menenteng kopor yang berisi buku-buku dan handuk kecil yang kondisinya lusuh. Penyair itu tidak membawa selembar pun baju pengganti.
“Baju pun cuma yang melekat di badan yang di bawanya,” kata RM Djojosepoetro ayah Mirat seperti dikutip dari buku Aku, Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar (1987).
Chairil tinggal beberapa hari di rumah keluarga Mirat. Paron membuatnya kerasan. Ia tidak memperlihatkan tanda-tanda akan pulang ke Jakarta.
Pada suatu malam di mana seluruh keluarga besar Mirat berkumpul, Chairil ditanya oleh ayah Mirat. Mulai menanyakan akan pulang dan soal pekerjaan.
“Masih akan berapa lama lagi kau di sini Nak?”
“Saya masih senang di sini”
“Apa kau tidak bersekolah lagi?”
“Ada sekolah apa rupanya di jaman edan seperti sekarang ini?”
“Atau bekerja, barangkali?”
“Bekerja? Ya, tiap hari, tiap detik saya bekerja”
“Di mana?”
“Di mana-mana!”
“Yang tetap?”
Chairil Anwar diam sejenak. Kemudian menjelaskan gambaran kerja yang rutin masuk di pagi hari dan pulang siang hari, baginya pekerjaan yang tak perlu ia lakukan.
“Ah, kerja yang itu tak usahlah!,” kata Chairil
“Kenapa tak usahlah? Semua orang bekerja semacam itu!”
Chairil Anwar beralasan semua orang bekerja semacam itu. Kakeknya, bapaknya, dan bahkan ayah Mirat juga disebutnya bekerja semacam itu.
Chairil berpendapat dirinya tak perlu melakukan hal yang sama.
“Kenapa tidak perlu? Memangnya apa, siapa anakda ini?,” tanya ayah Mirat kembali.
“Karena sekali berarti, sesudah itu mati. Karena gambaran hidup seorang seniman adalah hidup yang melepas bebas!”.
Usai mengatakan itu Chairil Anwar sesaat menoleh kepada Mirat yang duduk terpisah dari orang tua dan kakak-kakaknya.
Kepala Mirat tertunduk. Chairil melanjutkan ucapan yang langsung tertuju kepada Mirat.
Chairil beralasan dirinya dan Mirat adalah anak dari sebuah zaman yang beda. Dan setiap seniman, kata Chairil sesungguhnya ditakdirkan harus seorang perintis jalan.
“Kita tidak boleh lagi cuma jadi alat musik penghidupan seperti orang-orang tua kita. Kita pemain dari lagu penghidupan,” tegas Chairil.
Ucapan Chairil Anwar serupa orasi kebudayaan. Wajah orang tua dan saudara Mirat tegang seketika. Mereka tidak bisa menerima alasan Chairil.
Kakak Mirat yang menjadi jaksa di Jakarta dikabari melalui sepucuk surat dan sontak naik pitam. Pendirian keluarga tidak bergeming.
Hubungan dengan Mirat akan mendapat restu asal Chairil memiliki pekerjaan tetap. Setelah pembicaraan serius itu, Chairil Anwar pamit kembali ke Jakarta.
Kopor berisi buku-buku dan berkas tulisannya ditinggal. Penyair kelahiran Medan 26 Juli 1922 itu tidak pernah kembali lagi ke Paron, Ngawi.
Pada tahun 1949 Chairil mengabadikan kisah asmaranya ke dalam puisi berjudul Mirat Muda, Chairil Muda di Pegunungan 1943.
Penulis: Solichan Arif