Seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) ditangkap polisi dan dijerat dengan pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 27 ayat (1), dan atau pasal 51 ayat (1) Jo Pasal 35 UU Nomer 1 tahun 2025 tentang ITE. Penangkapan dilakukan setelah mahasiswa tersebut membuat dan mengunggah meme Jokowi-Prabowo sedang berciuman.
Mahasiswa perempuan berinisial SSS ini dituduh melakukan tindak pidana membuat dan menyebarkan hinaan yang melanggar asusila di media elektronik. Dalam waktu singkat statusnya juga dinaikkan menjai tersangka oleh Bareskrim Polri, sesaat setelah diciduk di tempat kosnya Jatinagor, Sumedang, Jawa Barat pada selasa, 6 Mei 2025.
Meme tersebut memang menuai pro kontra di masyarakat. Pendapat warga terbelah, ada yang mendukung tindakan polisi karena menilai meme tersebut jauh dari ungkapan kritik, melainkan hinaan. Sebagian menilai penangkapan itu sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi yang telah dijamin oleh undang-undang. Salah satunya dari Ketua Amnesty Internasional Usman Hamid.
Definisi kritik dan hinaan kini menjadi suatu yang dilematik. Hukum positif di Indonesia pun tidak dapat memberikan penjelasan yang gambling atas kedua hal tersebut. Faktanya, kritik dimaknai sebagai koreksi yang diutarakan dengan kesopan santunan etika. Ketika etika telah terlampaui dan substansi kritik sublim menjadi ketidakteraturan etik, maka hal tersebut telah keluar dari batasan kritik atau perilaku yang mursal.
Celakanya, batasan tentang kritik dan hinaan tak cukup didefinisikan dengan penjelasan, tetapi dilengkapi dengan batasan jeruji besi bagi yang dianggap melanggar.
Lepas dari nilai meme yang dibuat mahasiswi ITB, masyarakat Indonesia cukup faham dengan relasi Jokowi – Prabowo, di mana usai purna tugas tahun 2024 lalu, Jokowi memiliki kedekatan yang tidak biasa dengan Presiden Prabowo Subianto. Kedekatan tersebut sudah terjalin saat Jokowi menunjuk Prabowo menjadi Menteri Pertahanan di kabinetnya.
Apalagi proses terpilihnya Prabowo menjadi Presiden RI tak lepas dari dukungan Jokowi yang memiliki basis massa kuat. Keberadaan Gibran sebagai pendamping Prabowo makin melegitimasi pengaruh Jokowi terhadap pemerintahan Prabowo Subianto.
Tongkat kepresidenan yang telah berpindah tangan kepada Prabowo seolah tak mengubah landscape kekuasaan dari tangan Jokowi. Di sejumlah acara penting kenegaraan, Prabowo masih membentangkan karpet merah kepada Jokowi. Tak heran jika kemudian isu tentang “matahari kembar” menyusup di kalangan istana.
Realitas itulah yang ditangkap dan digambarkan oleh mahasiswi ITB melalui meme. Matahari kembar antara Prabowo dan Jokowi dipersonifikasikan dengan gambar adegan ciuman keduanya. Sebuah meme yang tidak sekedar menggambarkan kondisi pemerintahan, tetapi peringatan ancaman bahaya yang akan dihadapi bangsa Indonesia ke depan.
Penangkapan atas mahasiswi tersebut menjadi alarm jika demokrasi Indonesia sudah di ujung tanduk, melambai pada sang ratu adil untuk meminta penghakiman dan menyeret mereka ke Mahkamah Sejarah.
Kita mungkin lupa, bahwa hukum negara adalah derivatif dari hukum moral yang sarat akan keadilan dan kemanfaatan. Ketika keadilan dan kemanfaatan dikesampingkan, maka keadilan akan karam. Keadilan dan kemanfaatan harus kompatibel.
Dalam situasi yang tuli seperti sekarang ini, ketika suara koreksi dianggap angin lalu, maka kebenaran akan mencari jalannya sendiri. Meme yang dibuat mahasiswi ITB adalah salah satu jalan untuk menerabas dinding aspirasi. Jalan yang tak bisa dibendung oleh kekuatan apapun.
Penulis: M. Fiskal A’raaf
*) Ketua Komisariat GMNI IAIN Kediri