Sempat diragukan di awal menjabat, Mohamad Ali Kuncoro sukses mendapat hati masyarakat Kota Mojokerto. Kepada Bacaini.ID, alumnus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) ini menceritakan pertempuran hatinya, termasuk rivalitas dengan Setda yang mendampingi.
Bacaini.ID, MOJOKERTO – Mohammad Ali Kuncoro adalah satu dari sekian aparatur pemerintah Provinsi Jawa Timur yang ditunjuk menjadi Penjabat (Pj) Kepala Daerah. Melalui proses penilaian yang ketat, pria kelahiran Kota Kediri ini dilantik menjadi Pj. Wali Kota Mojokerto sejak 10 Desember 2023.
Di ujung masa tugasnya sebagai pemimpin Kota Mojokerto, Mohamad Ali Kuncoro (MAK) menceritakan upaya mendapatkan simpati masyarakat dan stakeholder Kota Mojokerto, termasuk mencairkan komunikasi dengan Sekretaris Daerah Kota Mojokerto, Gaguk Tri Prasetyo yang menjadi rivalnya dalam seleksi penjabat kepala daerah. Berikut wawancara MAK dengan jurnalis Bacaini.ID Hari Tri Wasono:
Bacaini:
Apa yang terlintas di pikiran Anda saat ditunjuk menjadi Pj Wali Kota Mojokerto?
MAK:
Sebagai aparatur pemerintah, saya harus siap mendapat tugas di mana saja, termasuk Kota Mojokerto. Sejak kecil saya hidup di lingkungan birokrat, dimana ayah dan saudara yang lain adalah aparatur pemerintah. Sehingga tegak lurus pada pimpinan sudah saya fahami sejak kecil.
Bacaini:
Apa modal Anda dalam memimpin wilayah?
MAK:
Selain pengalaman menjadi aparatur pemerintah dan ilmu di IPDN, saya berkesempatan menimba ilmu dari tiga orang besar. Pertama Pak Achmady (mantan Bupati Mojokerto), kedua Pak Mustofa Kamal Pasa (mantan Bupati Mojokerto, dan ketiga Bu Khofifah Indar Parawansa. Saya belajar mengelola birokrasi dari Pak Achmady saat menjadi ajudan beliau. Belajar membangun interprenuer dari Pak Mustofa. Serta belajar membangun komunikasi dengan masyarakat dari Bu Khofifah. Itu ilmu yang tidak bisa dipelajari dari buku.
Bacaini:
Bagaimana Anda merangkul birokrasi sebagai orang baru?
MAK:
Sebagai tamu, saya harus cepat belajar agar menjadi tuan rumah. Bagaimanapun saya adalah pemimpin di Kota Mojokerto. Saya menyadari ada pertempuran hati dari birokrasi maupun forkopimda tentang saya. Itu yang harus saya tundukkan pertama kali. Termasuk kepada Pak Setda (Gaguk Tri Prasetyo) yang menjadi rival saya dalam pencalonan Pj. Sekarang saya dengan beliau sudah seperti saudara.
Saya datangi satu per satu setiap OPD, door to door. Saya kasih sentuhan kecil, seperti kejutan kecil saat ulang tahun, ngemong kepada semua elemen. Dan tidak terlalu pelit, itu penting (tertawa).
Bacaini:
Anda memainkan gimmick juga di masyarakat dengan mempopulerkan nama Mas Pj.
MAK:
Sebenarnya bukan gimmick. Branding kepada masyarakat kita mainkan agar lebih cepat dikenal. Bagaimana saya berkomunikasi dengan mereka kalau nama saya tidak dikenal? Setelah semuanya faham dan mengerti kemauan saya, baru saya genjot.
Bacaini:
Bagaimana Anda mengawal birokrasi di tahun politik?
MAK:
Briokrasi itu patron, tegak lurus pada pimpinan. Di Kota Mojokerto saya sampaikan, jangan ada yang main-main. Kondusifitas pemilu dan pilkada itu terletak pada penyelenggara, aparatur, dan birokrasi. Apalagi saya dari pemprov, tidak ada kepentingan lokal yang membuat saya harus bermain-main dengan pilkada. Jadi tanpa beban.
Bacaini:
Anda tidak membangun komunikasi dengan para calon wali kota?
MAK:
Oh, saya berkomunikasi. Saya sadar sebagai Pj, saya ini hanya menjalankan pemerintahan transisi saja. Mereka para calonlah yang akan menjadi pemimpin sebenarnya. Karena itu saat pembahasan APBD Tahun 2025, saya minta TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) berkomunikasi dengan para calon, tanpa harus tahu kedalaman. Sehingga kalau ada pemikiran yang bagus, silahkan diakomodir selama ada anggarannya.
Bacaini:
Anda legowo melepas jabatan Pj yang segera berakhir?
MAK:
Saya sangat menyadari posisi saya sebagai Pj yang hanya mengawal masa transisi. Saat ini saja saya sudah meminta seluruh foto saya diturunkan. Saya juga membuka ruang seluas-luasnya kepada Bu Ika Puspitasari sebagai wali kota terpilih untuk berinteraksi dengan jajaran pemerintahan dan masyarakat. Peringatan malam tahun baru yang digelar pemerintah kemarin, saya undang Bu Ika. Saya sudah tidak mau memberi sambutan, saya serahkan Pak Danrem.
Bacaini:
Sempat ada kabar Anda akan maju saat pencalonan pilkada kemarin?
MAK:
Di awal saya masuk (Mojokerto), memang banyak yang menduga saya akan mencalonkan diri. Setelah tidak terbukti, muncul lagi anggapan saya menyiapkan jalan untuk lima tahun ke depan. Tetapi saya memaknai sebuah pepatah, bahwa kuda yang baik tidak pernah memakan rumput yang pernah dilalui. Berhati-hatilah karena kekuasaan itu candu.
Bacaini:
Apa legacy Anda di Kota Mojokerto?
MAK:
Saya berharap masih bisa diberi kesempatan memberi nama sebuah jalan dengan nama Jalan Ir. Soekarno. Sebab di sini ada tempat sekolahnya Bung Karno. Selama menjabat kemarin saya juga menghidupkan kembali GOR sebagai ruang olah raga. Selama ini kondisi bangunannya kurang layak sehingga orang malas ke sana.
Saya juga membuat patung Gajah Mada di Jalan Gajah Mada setelah berdiskusi dengan para budayawan. Patung ini bahkan menggeser posisi Tugu Adipura.
Bacaini:
Apa harapan yang belum terlaksana?
MAK:
Mojokerto itu kota kecil. Fiskal kita kecil dengan PAD hanya Rp.300 milyar. Butuh lebih banyak keterlibatan pihak swasta untuk membangun kota ini, terutama di sektor pangan, tempat tinggal, dan transportasi massal.
Syukur-syukur bisa direalisasikan Mojopahit Science Park yang dilengkapi teknologi AI untuk melihat kejayaan masa lampau. Ada juga museum dan penginapan di sana yang menjadi pusat pembelajaran Majapahit. Sehingga Mojokerto tumbuh menjadi kota besar tanpa kehilangan identitas aslinya.