Bacaini.ID, BLITAR – Blitar Raya dulunya merupakan basis para pengikut dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Begitu juga dengan wilayah Kediri Raya.
Pada pemilu 1955, masyarakat Blitar dan Kediri menyumbang perolehan suara besar untuk PKI, baik di provinsi Jawa Timur maupun secara nasional.
Ideologi komunis di Blitar Raya diketahui tumbuh subur mulai kawasan perkebunan (pedesaan) hingga menyebar luas ke wilayah perkotaan.
Desa sebagai sumber makanan, sumber prajurit revolusioner, tempat mundur apabila terpukul di kota-kota dan pangkalan untuk melakukan serangan dan merebut kembali kota, jadi landasan baku konsep Ganyang 7 Setan Desa.
Sebagai partai kader sekaligus partai massa yang memiliki disiplin organisasi yang tinggi, PKI sukses mengampanyekan program-programnya yang memihak rakyat.
Dikutip dari buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, perolehan suara PKI di wilayah eks Karsidenan Kediri (termasuk Blitar Raya) mencapai 457.000 suara, mengalahkan PNI, NU dan Masyumi.
Secara historis, mayoritas warna sosial politik masyarakat Blitar Raya adalah merah, abang. Tidak heran, pada masa itu Bupati Blitar Sumarsono berasal dari kader tulen PKI.
Namun arah angin sejarah nyatanya telah berubah. Pasca meletusnya peristiwa G30SPKI di Jakarta, posisi PKI yang sebelumnya di atas angin, terjepit.
Di Blitar sekitar 10.000 orang Ansor Banser NU menggelar Apel Akbar di alun-alun Kota Blitar.
Massa dengan senjata tajam membuat macet jalan-jalan. Show of force NU Blitar menyikapi peristiwa G30SPKI membuat para kader dan simpatisan PKI Blitar ketakutan.
Sumarsono yang melihat situasi sudah di luar kendali memutuskan kabur, meninggalkan pendopo, bersembunyi.
Sumarsono sebelumnya diketahui berada di belakang sejumlah aksi sepihak yang dilancarkan BTI, Pemuda Rakyat dan Gerwani. Aksi yang jauh hari menimbulkan konflik horizontal.
Upaya orang-orang PKI merebut tanah dengan dalih menegakkan landreform membuat mereka berbenturan dengan orang-orang NU dan PNI.
Sebab banyak kiai dan pengurus NU serta para priyayi yang secara politik berafiliasi kepada PNI menjadi pemilik tanah yang luas itu.
“Sumarsono Bupati Blitar dari PKI yang dikenal sangat kejam dan mendalangi berbagai aksi sepihak dan penghinaan terhadap agama itu melarikan diri ke luar kota,” demikian dikutip dari buku Benturan NU-PKI 1948-1965.
Diawali Apel Akbar, massa Ansor Banser NU Blitar bergerak melakukan pembersihan para tokoh PKI. Massa menggeledah rumah-rumah para pimpinan PKI.
Dalam penggeledahan ditemukan setumpuk dokumen yang salah satunya terkait rencana penangkapan dan pembunuhan atas sejumlah tokoh NU.
Temuan itu mendorong Ansor dan Banser NU semakin bersemangat bergerak. Terciptalah situasi di mana orang-orang yang berposisi diametral berfikir: membunuh atau dibunuh.
Bupati Blitar Sumarsono berhasil kabur ke luar kota, namun hal itu tidak berlangsung lama, karena ia kemudian tertangkap dan dibantai oleh massa.
“Begitu juga Ketua DPRD (Blitar) yang gembong PKI ditangkap oleh ABRI”.
Situasi serupa berlangsung di wilayah Kabupaten Trenggalek. Ansor dan Banser NU bersama aparat keamanan dan anggota DPRGR non PKI, memberhentikan Bupati Trenggalek Sutomo Bk.
Bupati Trenggalek Sutomo Bk diketahui kader PKI dan posisinya digantikan pegawai pemkab bernama H Hardjito.
Begitulah pasang surut perjalanan Partai Komunis Indonesia. Pada 12 Maret 1966, Pemerintah resmi membubarkan PKI sekaligus menyatakan sebagai partai terlarang.
Penulis: Solichan Arif