Bacaini.id, BLITAR – Dari folklore (cerita rakyat) yang oleh sebagian orang diyakini kebenarannya, sejarah awal kekuasaan wilayah Aryo Blitar atau Kabupaten Blitar, disusun.
Mengutip buku Arja Blitar karya R Kartawibawa yang terbit tahun 1941, sejarah awal politik kekuasaan Kabupaten Blitar terungkap penuh intrik dan pertumpahan darah.
Pergantian kekuasaan selalu ditempuh dengan jalan keris, tombak dan pedang. Raden Kartawibawa diketahui berkerabat dekat dengan Soekarno atau Bung Karno dari jalur ayah (R Soekemi Sosrodihardjo).
Salah satu keturunan R Kartawibawa adalah Suwito Kartowibowo yang pada masa rezim orde baru (orba) pernah membuat heboh dengan mewacanakan gerakan kudeta spiritual.
Dengan berani Suwito mendesak Soeharto meletakkan jabatan presiden sekaligus meminta maaf kepada Bung Karno. Atas ontran-ontran yang dibuatnya, Suwito ditangkap, diadili dan dipenjara.
Kembali pada cerita sejarah politik kekuasaan di Kabupaten Blitar. Kisah dimulai dari penguasa Aryo Blitar atau Adipati Arya Blitar yang bernama Ki Panji Nilasuwarna.
Disebutkan dalam buku Arja Blitar, kekuasaan Nilasuwarna meliputi hingga wilayah Rejotangan dan Ngunut (sekarang Kabupaten Tulungagung). Sedangkan ke arah timur meliputi sebagian wilayah Kabupaten Malang.
Nilasuwarna dan istrinya juga disebutkan bertempat tinggal di selatan wilayah Rejotangan yang saat ini merupakan wilayah Kabupaten Tulungagung. Istri Nilasuwarna kesohor berparas cantik.
Kecantikan itu membuat Ki Ageng Sengguruh kesengsem dan berfikiran keji, yakni ingin merebutnya. Tindakan Sengguruh serupa Ken Arok yang merampas Ken Dedes dari tangan Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Ki Ageng Sengguruh yang berasal dari Malang merupakan bawahan Nilasuwarna, dengan jabatan setingkat lurah atau kepala desa.
Bukan hanya berhasrat memperistri Nyi Nilasuwarna, Sengguruh juga bernafsu menduduki jabatan Adipati Aryo Blitar. Untuk mewujudkan mimpinya Sengguruh pun mengumpulkan orang-orangnya. Ia juga menyusun skenario penyingkiran (kudeta) Adipati Nilasuwarna.
“Sanakku wadyabala, aku oleh kaladesa arep angerebut panguwasa, apa kowe sarju tulung? (Sanak bala, aku mau merebut kekuasaan, apa kalian semua bersedia membantu?),” kata Sengguruh seperti dikutip dari buku Arja Blitar.
Syahdan, pada saat itu istri Adipati Nilasuwarna tengah mengandung dan ngidam mengonsumsi ikan bader bang sisik kencono (ikan bader warna merah bersisik emas).
Sengguruh mendengar hal itu. Kepada Nilasuwarna ia mengungkapkan bahwa ikan yang dimaksud ada di Kedung Gayaran yang berada di kawasan hutan Lodaya. Adipati Nilasuwarna sontak senang.
Tanpa berfikir panjang, ia bersama pengikutnya mendatangi Kedung Gayaran. Di luar sepengetahuan Nilasuwarna, Ki Ageng Sengguruh diam-diam telah menyiapkan pasukan.
Lantaran ingin menyenangkan sang istri, Nilasuwarna bertekad menangkap ikan bader bang sisik kencono dengan tangannya sendiri. Ikan bersisik kuning emas itu betul-betul muncul dan Nilasuwarna bersemangat menebar jala.
Melihat ikan yang terjerat jaring, Nilasuwarna lantas terjun ke dalam air berusaha menangkapnya. Pada saat itulah Sengguruh memerintahkan pasukannya melempari Nilasuwarna dengan batu dan ranting pohon.
Sadar telah dijebak, Nilasuwarna yang sempat muncul di permukaan air melontarkan sumpah serapah: nyawa akan dibalas nyawa. Setelah itu ia lenyap di dalam air dan tidak diketahui nasibnya.
“Rasakna mbesuk walese dosamu, utang lara nyaur lara, utang pati dipateni (Rasakan besok pembalasan dosamu, hutang sakit dibayar sakit, hutang nyawa dibunuh),” sumpah Nilasuwarna.
Sementara mengetahui suaminya telah dikhianati oleh Sengguruh, Nyi Nilasuwarna dan beberapa pengikutnya sontak menyelamatkan diri.
Dalam keadaan hamil besar, istri Adipati Nilasuwarna menyeberangi sungai Brantas menuju kawasan Gunung Pegat, wilayah Srengat. Tidak berlangsung lama, ia melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Jaka Kandung.
Singkat cerita, pemuda bernama Jaka Kandung yang mengetahui kisah kematian ayahnya, bersiasat dengan pura-pura mengabdi kepada Ki Ageng Sengguruh yang telah menjadi penguasa Kabupaten Blitar.
Lantaran cakap dan terampil dalam segala hal, Sengguruh terpikat dan mengangkat Jaka Kandung sebagai anak.
Pada sebuah kesempatan diberi keleluasaan memilih keris pusaka, Jaka Kandung membalaskan dendam Nilasuwarna, ayahnya. Ia tusuk lambung Ki Ageng Sengguruh yang notabene ayah angkatnya hingga tewas.
Begitu juga istri Sengguruh, dihabisinya. Sejak peristiwa itu Jaka Kandung melanjutkan kekuasaan sebagai Adipati Arya Blitar.
Jaka Kandung melakukan hal serupa dengan Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati) pendiri Kerajaan Mataram Islam, yakni menyingkirkan Raja Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang merupakan ayah angkatnya.
Penulis: Solichan Arif