Bacaini.id, JAKARTA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil memperoleh suara terbanyak dalam Pileg 2024. Kendati demikian, dibandingkan Pemilu 2019 perolehan suara PDIP terhitung turun.
Sementara di Pilpres 2024, kemenangan pasangan Prabowo-Gibran hampir 56% atas Ganjar-Mahfud yang hanya meraup 16%, menjadi bukti strategi public relations (PR) yang dipakai PDIP melalui elit-elitnya di media mainstream dan media sosial tidak efektif.
Seperti diungkapkan Dr. Manik Sunuantari, M.Si selaku analis dari Laboratorium Big Data Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) kepada Bacaini.id. Bahwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menempati urutan teratas dengan 60.497 pernyataan di media nasional dalam kurun waktu satu tahun.
Kemudian disusul Ganjar Pranowo (25.489 pernyataan), Puan Maharani (10.606 pernyataan) dan cawapres PDIP Mahfud MD (10.499 pernyataan). Sementara KPU merilis jumlah pemilih berdasarkan umur dengan posisi tertinggi ditempati Gen Milenial sebanyak 68.8 juta pemilih.
Kemudian Gen X sebanyak 57,5 juta pemilih, Gen Z 46,8 juta pemilih dan Gen Baby Boomer 28,1 juta pemilih. Mereka semua itu, kata Manik terbukti memberikan dampak signifikan pada Pilpres dan Pileg 2024.
Memori publik masih melekat bagaimana orasi politik Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyebut Generasi Milenial tidak memberikan sumbangsih kepada bangsa dan negara, tapi hanya bisa berdemo melalui tekhnologi di media sosial.
Orasi yang berlangsung saat peresmian Kantor DPC PDIP itu menjadi bumerang bagi PDIP. Prediksi hasil survei SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting) yang direlease 22 Oktober 2022 membuktikan itu.
Hasil riset Litbang Kompas yang dirilis 14 Februari 2024, yakni pasca pemungutan suara membuktikan Generasi Z dan Generasi Milenial lebih memilih Gerindra (21,4%) dibanding PDIP (12,3%).
Manik menambahkan, saat ini yang berperan sebagai PR (Public relations) PDIP adalah Sekjen Hasto Kristiyanto. Hasto mendominasi pernyataan-pernyataan komunikasi politik PDIP.
Namun sayangnya, kata Manik gaya ke-PR-an Hasto cenderung agresif. Komunikasi yang cenderung menyerang yang dipakai Hasto justru tidak menarik simpati masyarakat.
“Ingat nggak kampanye pamungkas PDIP yang diharapkan bakal booming di hari terakhir kampanye di Banyuwangi, Jawa Timur. Akibat candaan Cak Lontong pada kampanye 10 Februari 2024 yang menyebut dengan nada marah karena dianggap ada penyusup kampanye dengan sebutan “wong deso” justru menjadi bumerang bagi PDIP,” ungkap Manik.
Alih-alih peserta kampanye bersemangat dan terbakar ghirahnya. Yang terjadi justru malah meneriakan yel-yel Prabowo pada saat berlangsung kampanye Ganjar-Mahfud.
Tidak itu saja. Hal yang sama juga terjadi di Bali dan beberapa wilayah lainnya. “Ini koreksi dan masukan buat PDIP, ubah gaya komunikasi politiknya,” ujar Manik.
Dosen yang sekaligus Ketua Pengawas FK Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) Nusantara itu juga mengatakan, meski dianggap remeh, saat ini gaya kampanye dengan berjoget sembari menyampaikan visi misi, santai dan humble, justru lebih disukai masyarakat.
Menurut Manik, masyarakat mungkin sudah jenuh dengan ujaran kebencian (hate speech) yang sebelumnya berpengaruh pada pemilu 2014. Namun seringnya terjadi kriminalisasi lantaran ujaran kebencian dan saling melaporkan di kepolisian, masyarakat kemudian lebih menyukai gaya kampanye yang santai dan riang gembira.
Terkait visi dan misi tidak harus didapatkan pada saat orasi kampanye, tapi melalui akses internet. Masyarakat dalam mencari jejak digital informasi cukup dari genggaman tangan melalui handphone.
Manik menduga saat ini Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tengah memerankan “Bad Cop”. Hasto sengaja memilih gaya komunikasi yang kerap menyerang Presiden Jokowi dan keluarganya lantaran Gibran lebih memilih menjadi pasangan Prabowo.
Yang disayangkan, pada saat yang sama elit PDIP yang lain tidak memerankan “Good Cop”. Misalnya elit PDIP Said Abdullah seringkali melakukan netralisir, namun publikasinya kurang dibandingkan Hasto.
Gaya komunikasi Hasto selaku Sekjen yang terkesan menyerang personal justru akan merugikan PDIP, yakni terutama pada saat Pilkada serentak 2024. Sebab Jokowi Effect masih mumpuni dan banyak pengikutnya.
PDIP diharapkan segera melakukan evaluasi sekaligus menyiapkan juru bicara yang lebih mampu menggaet hati publik dalam menghadapi Pilkada serentak 2024.
“Jubir yang ada harus lebih elegan dan mampu mengontrol emosi saat melakukan komunikasi publik dan politik melalui media,” pungkas Manik di sela kesibukan mengembangkan Laboratorium Big Data Ilmu Komunikasi di Gedung Utama UAI di Sisingamaraja, Jakarta Selatan.
Penulis: Danny Wibisono