Bacaini.id, KEDIRI – Ada yang beda pada perayaan Hari Raya Idul Fitri pada tahun 1955. Sejarah mencatat, lebaran Idul Fitri tahun 1955 jatuh pada tanggal 22 Mei.
Perayaan hari lebaran yang dinanti-nanti seluruh umat Islam setelah 30 hari lamanya berpuasa itu, ternyata tepat pada H-1 kelahiran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tentu itu kebetulan. Ya, kebetulan. PKI diketahui berdiri pada 23 Mei 1920 yang diketuai oleh Semaun, bekas kawan kost Soekarno di rumah H.O.S Tjokroaminoto di Peneleh, Surabaya, Jawa Timur.
Pada 22 Mei 1955 PKI telah berumur 35 tahun. Tentu sebuah usia yang matang. Namun realitasnya, PKI sejak lahir seperti terus-menerus didera kutukan. Jatuh bangun dan terpuruk lantaran aksi pemberontakan: 1926, 1948 dan 1965.
Pada makar yang ketiga (30 September 1965), PKI dikubur untuk selamanya hingga sekarang: partainya dibubarkan dan seluruh pengikut dan loyalisnya ditumpas hingga ke akarnya.
Melihat dinamika yang bak roller coaster itu, seorang sejarawan Indonesia mengibaratkan PKI hanyalah raksasa berkaki lempung. Karenanya, kalau ada isu PKI akan bangkit lagi, tentu hal itu masih sulit dipahami.
Jauh sebelum meletus peristiwa 1965, PKI diketahui telah menyala-nyala. Di bawah dirigen triumvirat Dipa Nusantara Aidit, Njoto dan Lukman, partai berlambang palu arit sukses menjadi salah satu partai pemenang pemilu 1955.
Wilayah Jawa Timur, yakni utamanya Kediri dan Madiun menjadi salah satu pemasok suara terbesar yang sekaligus menghantarkan PKI menempati 5 besar secara nasional.
Dilansir dari catatan peneliti asing Herbert Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1999), perolehan suara PKI di Karesidenan Kediri mencapai 457.000 suara.
PNI yang berjualan Soekarno, Masyumi yang punya Natsir, NU yang memiliki banyak tokoh kiai dan PSI yang punya Sjahrir, dengan mudah dipecundanginya.
Apa kuncinya? Kader-kader PKI ahli mengelola isu di wilayah agraria, perburuhan dan sekaligus lihai beragitprop (agitasi dan propaganda).
PKI pandai memfraiming diri sebagai partai pembela rakyat kecil, wong cilik sekaligus lincah dalam mengerdilkan kompetitor politiknya, yakni utamanya Masyumi.
Dalam setiap kampanyenya PKI menyebut PNI sebagai partai priyayi, NU dan Masyumi sebagai partai santri. Sementara PKI menyebut dirinya sebagai partai rakyat.
“PNI partai priyayi, Masyumi dan NU partai santri, tetapi PKI partai rakyat,” demikian dikutip dari buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.
Kembali pada lebaran Idul Fitri 1955 yang jatuh tepat sehari perayaan harlah PKI. Sebagai salah satu partai terbesar, PKI tidak melewatkan momentum meriah itu.
Pada edisi 22 Mei 1955, tiga lembar halaman surat kabar Harian Rakyat yang merupakan koran resmi PKI telah memuat penuh ucapan-ucapan selamat Idul Fitri.
Komite Sentral (C.C.) PKI secara tertulis tidak ketinggalan ikut menyambut datangnya hari raya Idul Fitri. Berikut ucapan CC PKI kepada umat Islam Indonesia yang sedang merayakan lebaran Idul Fitri:
Central Comite Partai Komunis Indonesia (P.K.I)
Mengutjapkan: SELAMAT HARI RAYA IDULFITRI 1374
KEPADA SEMUA RAKJAT INDONESIA JANG BERAGAMA ISLAM,
SEMOGA IDULFITRI TAHUN INI MENGHIKMATI PERDJOANGAN RAKJAT INDONESIA UNTUK PERSATUAN, KEMERDEKAAN DAN PERDAMAIAN.
Dalam momentum lebaran Idul Fitri itu PKI juga menyampaikan sikap penentangannya terhadap segala potensi terjadinya perang atom pada masa perang dingin.
PKI juga berseru kepada masyarakat Indonesia untuk turut menjaga perdamaian.
“Kali ini lebaran benar2 dalam suasana yang istimewa. Lebaran ini djatuh pada suatu saat, dimana tidak hanja Asia-Afrika, tetapi seluruh dunia diliputi kumandang hasil2 Konferensi Bandung, lebaran ini malahan djatuh bersamaan ulang tahun ke-35 PKI, partai jang tak henti2nja memperdjuangkan perdamaian diantara bangsa2. ….. Kali ini kita bisa berpesta pada hari lebaran. Tetapi djika nafsu mengobarkan perang atom tidak kita kendalikan, lebaran2 jang akan datang akan berarti kuburan. Kita memerlukan kehidupan, dan bukan kuburan. Inilah sebabnja be-ratus2 djuta umat sekarang ini dengan giat melawan persiapan perang atom, sekarang ini dengan mengumpulkan tandatangan sebanjak2nya, sebagai bukti akan kebulatan kehendak umat manusia. Umat Islam tentu tidak ketinggalan,” begitu tertulis di editorial Harian Rakyat.
Harian Rakjat juga menurunkan berita tentang serikat buruh yang juga larut dalam kemeriahan perayaan Idul Fitri 1955.
Dewan Daerah SOBSI Sumatera Utara mengucapkan selamat Idul Fitri kepada segenap umat Islam di Indonesia. SOBSI Sumatera Utara juga menentang ancaman perang atom.
Mereka pun menyatakan sikap menolak kenaikan harga barang dan menentang setiap perkosaan hak-hak demokrasi.
Harian Rakyat pada edisi 11 Februari 1955 juga mengabarkan kehadiran D. N. Aidit selaku ketua C.C. PKI cum wakil ketua MPRS dalam acara “Malam Lenso” yang digelar untuk menyambut hari raya Idul Fitri sekaligus Imlek di Gedung Pemuda, Jakarta.
Penyelenggara acara adalah PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) Djakarta Raja.
Aidit dalam pidatonya mengapresiasi penyelenggaraan “Malam Lenso”. Menurutnya, tarian lenso merupakan tarian yang mendukung perjuangan revolusi rakyat.
Aidit berharap acara penyelenggaraan “Malam Lenso” bisa menjadi momentum yang menguatkan harapan terciptanya keamanan dan kerukunan bagi setiap suku dan agama di Indonesia.
Sekedar sebuah catatan sejarah. Peristiwa kemeriahan Idul Fitri 1955 di surat kabar Harian Rakyat memperlihatkan bahwa partai yang telah dikubur hidup-hidup pada peristiwa 30 September 1965 itu tidak sepenuhnya anti agama.
Penulis: Solichan Arif