Bacaini.id, KEDIRI – Partai Komunis Indonesia (PKI) di wilayah eks karsidenan Kediri Jawa Timur menang besar. Selain dari wilayah Kediri, kemenangan suara PKI di Pemilu 1955 banyak disumbang dari wilayah Blitar.
Perolehan suara PKI mencapai 457.000 suara yang itu mengungguli tiga partai besar lainnya. Hanya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang berhasil menempel ketat, yakni memperoleh dukungan suara 455.000 suara.
Sedangkan NU dan Masyumi masing-masing hanya memperoleh 366.000 suara dan 155.000 suara. PKI dan PNI diketahui memiliki basis massa serupa, yakni kaum abangan atau non santri.
Seperti halnya Masyumi dan NU yang berebut suara santri, dalam Pemilu 1955 PKI dan PNI bersaing ketat memperebutkan suara golongan abangan. Bagaimana persaingan ketat itu terjadi?
Peneliti asing Herbert Feith dalam buku Pemilihan Umum 1955 di Indonesia (1971) menyebut, PKI dan PNI mencari dukungan terutama dari orang-orang yang punya pengaruh atas golongan abangan.
Pada konteks pedesaan, ada tiga kekuatan besar yang didekati tokoh-tokoh PKI dan PNI. Pertama adalah lurah atau kepala desa serta pejabat bawahannya, pamong desa.
“Yang di kebanyakan daerah merupakan keturunan jauh dari kalangan bangsawan dan pemilik tanah,” tulisnya.
Kekuatan besar kedua adalah paranormal, dukun, orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib, guru kebatinan, tabib, peramal dan ahli jimat.
Kemudian juga kelompok seniman tradisional Jawa, pemain sandiwara dan penari, dalang wayang dan guru silat.
Kekuatan ketiga yang didekati PKI dan PNI adalah kelompok pemuda yang belum berkedudukan dengan fungsi sosial yang tidak jelas namun sering terlibat dalam tugas sebagai anggota penjaga keamanan desa.
Kelompok pemuda ini meliputi bekas gerilyawan yang setengah menganggur, bekas murid sekolah menengah yang tidak tamat, guru desa, berbagai kelompk lain yang pernah mengenyam pendidikan Barat sekedarnya dan cenderung berontak terhadap tradisi desa.
“Meski tidak semua anggota kelompok ini berusia muda, semuanya dianggap pemuda”.
Pada masa kampanye Pemilu 1955, banyak lurah atau kades serta bawahannya lebih condong ke PNI daripada PKI. Mereka memilih PNI lantaran merasa sebagai bagian golongan priyayi.
Kemudian secara material (harta) dan kebergantungan pada kekuasaan pamong praja yang umumnya dikuasai PNI. Namun kendati demikian tidak sedikit kades dan pamong yang mengalami perpecahan pilihan politik.
Kalau PKI mendapat dukungan besar dari warga desa, kades atau lurah akan memutuskan memilih PKI. Hal itu berkaitan dengan kepentingan Pilkades mendatang.
Sedangkan kelompok dukun dan seniman relatif terbagi rata, yakni sama-sama mendukung PKI dan PNI. Yang berbeda adalah kelompok pemuda yang belum berkedudukan.
Meski PNI dan partai lain sudah sekuat daya menarik perhatian, para pemuda lebih condong ke PKI. Apalagi PKI memiliki ounderbow partai yang bernama Pemuda Rakyat.
Pada Pemilu 1955 peranan uang untuk mendapatkan suara sudah mengambil peranan. Melihat manuver selama kampanye serta pembangunan jaringan politik yang dilakukan, PNI dan PKI dinilai telah merogoh kocek yang besar.
Kemudian sumber dana Masyumi cukup besar dan NU tergolong paling tidak banyak namun kuat pada sumber daya sosial. Pada Pemilu 1955 diketahui sumber dana tidak lebih penting dari kepemilikan sumber daya sosial.
“Penggunaan dana hanya bisa efektif jika dikaitkan dengan sumberdaya sosial,” demikian dikutip dari Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.
Tidak hanya di wilayah eks Karsidenan Kediri. Di eks karsidenan Madiun dan Bojonegoro, PKI mengungguli PNI dan bahkan di Madiun unggul telak dengan perolehan 447.000 suara.
Penulis: Solichan Arif
Comments 1