Bacaini.id, BLITAR – Namanya Jingga dan masih berusia 25 tahun. Begitu nama dan karyanya diumumkan sebagai juara pertama lomba desain batik khas Kota Blitar, orang menjadi tahu nama lengkapnya Vadara Jinggalangit Rizki.
Pada 14 Oktober 2023, motif batik Prabha Balitar karya Jingga resmi diangkat menjadi ikon Kota Blitar. Rencananya, dalam waktu dekat motif yang sarat filosofis itu akan diproduksi massal.
Seluruh ASN di Pemkot Blitar akan memakainya sebagai seragam dinas batik resmi. Mendengar kabar itu, Jingga hanya tertawa. “Alhamdulillah, desain saya ada manfaatnya,” tuturnya santai.
Jingga sejak awal tidak begitu memusingkan batik Prabha Balitar selanjutnya akan diapakan. Dipatenkan atau didaftarkan sebagai hak kekayaan intelektual, ia tidak begitu ambil peduli.
Jingga tahu, ketika didaftarkan HAKI oleh Pemkot Blitar namanya akan terhapus sebagai pemilik karya Batik Prabha Balitar. Begitu juga saat diproduksi sebagai barang ekonomis, yakni menjadi seragam ASN Pemkot Blitar, ia juga tidak akan mendapat royalti.
“Asal yang memiliki Pemkot Blitar, tidak apa-apa. Itung-itung saya sudah hibah ke pemerintah,” ungkapnya sembari ketawa.
Jingga lahir di Surabaya sebagai anak bungsu. Ayahnya seorang jurnalis di Surabaya yang tidak sempat dilihatnya secara langsung. Sejak balita ia hanya tumbuh bersama ibunya yang berlatar belakang pegawai kesehatan.
“Ayah meninggal dunia karena kecelakaan saat saya masih berusia sebulan,” ungkapnya.
Lulus dari SMK Seni Rupa Surabaya (SMK Negeri 12) jurusan desain grafis tahun 2016, Jingga melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia ambil jurusan tekhnik perkapalan, namun tidak selesai karena lebih berminat menjadi pekerja seni.
“Bakat seni mungkin datang dari almarhum ayah, yang katanya gemar menggambar,” paparnya.
Sejak tahun 2017 Jingga sudah terlibat aktif dalam sejumlah event seni pertunjukan di Kota Blitar. Di belakang acara Grebeg Pancasila, peringatan Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air), Bulan Bung Karno setiap bulan Juni, dan Peringatan Kemerdekaan 17 Agustus, ada namanya.
Kendati demikian, soal batik membatik, bagi Jingga adalah hal yang baru. Karenanya sejak awal tidak menyangka bakal keluar sebagai juara pertama lomba membuat desain batik khas Kota Blitar.
Maklum, ia harus bersaing dengan 130-an peserta yang rata-rata seniman batik kawakan. Bahkan banyak yang berasal dari luar kota. “Karya mereka bagus-bagus dan saya merupakan peserta paling muda,” kenangnya.
Jingga masih ingat, awalnya tidak berminat ikut lomba. Selain kering ide, di saat yang sama ia tengah sibuk mempersiapkan pertunjukkan tari. Namun dorongan dari rekannya sesama pekerja seni milenial, terus berdatangan.
“Saat itu saya kebetulan juga lagi tidak punya gagasan. Tapi teman-teman terus mendorong untuk ikut lomba,” paparnya.
Hari itu adalah H-3 pendaftaran lomba ditutup. Sekitar pukul 03.00 Wib dini hari, yakni di sela menuntaskan make up penari di Perpustakaan Nasional Bung Karno, ia tanpa sengaja memandang gapura menuju makam Proklamator.
Sontak terbit gagasan. Jingga menyimpulkan gapura adalah wajah khas Kota Blitar. Sebelum bersimpuh di depan pusara Bung Karno, setiap peziarah pasti akan melihatnya.
Berangkat dari gapura itu Jingga kemudian merangkaikan dengan instrument lain. Ia mengombinasikan dengan sayap garuda, Irisan Blimbing, Kendang Jimbe atau Kendang Sentul, Ikan Koi, Tumpeng atau Gunungan, dan sayuran.
Dibantu Erwin, yakni mentornya di sanggar Patrialoka, setiap instrument batik diperkuat dengan narasi filosofis. Dalam waktu dua hari jadilah motif batik Prabha Blitar dan langsung ia daftarkan.
“Waktu pendaftaran tinggal sehari, dan tidak disangka ternyata menang. Dapat hadiah uang tunai Rp 7 jutaan, rasanya senang,” tuturnya sembari tertawa.
Yang tidak banyak diketahui banyak orang, Jingga merupakan pekerja seni milenial yang hidup mandiri. Sejak 2017 masuk Kota Blitar, bergabung dengan sanggar Patrialoka dan memutuskan menetap, ia mencukupi kebutuhan hidupnya dari jalan seni.
“Saya menyewakan kostum tari tradisional dan kontemporer,” katanya. Hebatnya, seluruh kostum yang ia sewakan merupakan karyanya sendiri. Mulai bahan, desain, hingga menjahit, Jingga kerjakan seorang diri.
Saat ini jumlah koleksinya lebih dari seribu potong, di mana untuk perawatannya juga ia lakukan seorang diri. Yang luar biasa, dari persewaan kostum tarinya, Jingga mampu meraup untung hingga puluhan juta per bulan.
“Ya itu kalau pada saat musim panen, seperti bulan Juni, Agustus. Di Kota Blitar selalu ramai pagelaran seni,” ungkapnya.
Tak hanya urusan desain kostum dan mengelola persewaan. Jingga juga diketahui piawai mengurus tata artistik panggung pertunjukan, yakni termasuk lighting panggung juga menjadi tanggung jawabnya.
Sebagai pekerja seni kreatif, Jingga berhasil membuktikan seni memiliki masa depan yang menjanjikan.
Setidaknya kepada ibunya, yakni yang sempat menentang dan berpandangan jalan seni tidak bermasa depan, Jingga berhasil membuktikan hal itu tidak benar.
“Sekarang ibuk tidak lagi menentang, karena saya terbukti bisa hidup dari seni,” pungkasnya.
Penulis: Solichan Arif