Bacaini.id, KEDIRI – Saat Sumpah Pemuda 1928 berkumandang, S.K Trimurti masih berusia remaja. Trimurti yang kelak menjadi Menteri Perburuhan Pertama Indonesia, masih berusia 16 tahun.
Ia memang tidak terlibat langsung dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928. Kendati demikian, gemuruh Sumpah Pemuda telah mempengaruhi semangat istri Sayuti Melik, yakni pengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan 1945.
“Ia (SK Trimurti) pun juga semakin bangga sebagai pemuda Indonesia dan bersemangat untuk berjuang demi bangsa,” demikian dilansir dari buku SK Trimurti Pejuang Perempuan Indonesia (2016).
Sumpah Pemuda yang berkumandang pada 28 Oktober 1928 telah meyakinkan seluruh pemuda di Indonesia untuk tetap menjaga kebanggaan sebagai pemuda Indonesia dengan satu bangsa, satu bahasa dan satu bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda sekaligus menegaskan identitas politik para Pemuda Indonesia sebagai bangsa Indonesia.
Berlangsungnya Kongres Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta diprakarsai oleh sejumlah pemuda yang kelak tercatat sebagai tokoh kemerdekaan Indonesia.
Di antara para pencetus terdapat nama Soegondo Djojopoespito, tokoh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang didaulat menjadi Ketua Kongres II Sumpah Pemuda.
Kongres yang diikuti sebanyak 700-an pemuda dari berbagai organisasi itu juga menempatkan Mohammad Yamin sebagai sekertaris kongres. Yamin mewakili organisasi Jong Sumatranen Bond.
Yamin yang dikenal sebagai intelektual yang gemar menggali sejarah Kerajaan Nusantara, berkontribusi dalam perumusan teks Sumpah Pemuda. Pencetus Sumpah Pemuda lainnya adalah R.M Djoko Marsaid dari Jong Islamieten Bond (Jong Java).
Selain Djoko Marsaid ada nama Kasman Singodimedjo dari Jong Islamieten Bond (JIB). JIB merupakan sempalan dari organisasi Jong Java. Berdirinya JIB berawal dari kekecewaan Raden Samsurijal karena proposalnya tentang meteri keislaman tidak dipenuhi.
Selama periode 1925-1942, JIB menjadi organisasi intelektual muda muslim yang maju pesat dan kelak menjadi latar belakang pergerakan terpenting dari para tokoh Masyumi.
Sementara dari golongan kiri, pencetus Sumpah Pemuda diwakili Amir Sjarifuddin. Amir yang kelak ditembak mati dalam peristiwa pemberontakan PKI Madiun 19 September 1948, tampil sebagai bendahara Kongres Sumpah Pemuda II.
Amir mewakili organisasi Jong Batak. Yang tidak banyak tercatat dalam arsip sejarah, di dalam suasana gegap gempita Kongres Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ternyata ada peran penting Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau Kartosuwiryo.
Kartosuwiryo yang berusia 23 tahun terlibat aktif sebagai panitia Kongres Sumpah Pemuda. Ia hadir sebagai aktivis Jong Islamieten Bond. Kartosuwiryo kelahiran Cepu (Blora) Jawa Tengah 7 Januari 1905
Pada usia 4 tahun, ia pindah ke Bojonegoro Jawa Timur mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai mantri kehutanan. Kartosuwiryo yang sejak kecil tumbuh di lingkungan liberal mengenyam pendidikan yang dikhususkan anak bangsawan.
Ia juga bersekolah di ELS (Europeesce Lagere School), yakni sekolah elit yang didirikan orang Eropa khusus pribumi, bangsawan, dan indo Eropa yang memiliki kecerdasan tinggi dan bakat tertentu.
Kartosuwiryo melanjutkan pendidikan atau kuliah kedokteran di NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), yakni perguruan tinggi kedokteran pertama yang didirikan Belanda untuk kalangan pribumi, bangsawan dan keturunan Belanda.
Kartosuwiryo mengenal organisasi pertama di Jong Java, yang itu membuatnya tidak mempedulikan lagi masa depan akademisnya. Dari Jong Java ia kemudian menyeberang ke Jong Islamieten Bond.
“Pergerakan inilah (Jong Islamieten Bond) yang kemudian menjadikannya sebagai salah orang yang paling berjasa dalam gerakan pemuda yang sangat terkenal, yaitu Sumpah Pemuda,” demikian dikutip dari buku Kahar Muzakar & Kartosoewirjo, Pahlawan atau Pemberontak? (2013).
Keterlibatan Kartosuwiryo di dalam Kongres Sumpah Pemuda II membuat pihak kampusnya, yakni NIAS merasa tidak senang. Apalagi Kartosuwiryo diketahui memiliki sejumlah buku bacaan sosialis pemberian pamannya, Mas Marco Kartodikromo.
Kampus NIAS kemudian memutuskan memecatnya sebagai mahasiswa calon dokter. Kartosuwiryo terdampak Kongres Sumpah Pemuda. “Kartosuwiryo mendapatkan penolakan keras untuk kembali melanjutkan kuliah”.
Pasca Kongres Sumpah Pemuda II yang hingar bingar dengan kumandang lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman, Kartosuwiryo beralih menjadi pengajar (guru) di sebuah sekolah pribumi di Surabaya.
Di Surabaya, di sela kesibukan mengajar ia berkenalan dengan Ketua Sarekat Islam (SI) H.O.S Tjokroaminoto, dan lantas menjadi asisten pribadinya. Dari Tjokroaminoto, pemuda Kartosuwiryo banyak menimba pengetahuan soal keislaman.
Ia berubah menjadi sosok yang Islam minded. “Sosok pemuda yang hanya berfikir dan bersikap menggunakan sudut pandang Islam”. Kelak di awal Pemerintahan Presiden Soekarno, Kartosuwiryo tampil sebagai tokoh DI/TII.
Dengan gerakan dan cita-cita mendirikan negara Islam, sejarah pergerakan Indonesia kemudian mencatat Kartosuwiryo sebagai pemberontak. Salah satu tokoh yang berperan penting dalam Kongres Sumpah Pemuda 1928 itu, ditangkap dan dihukum mati.
Penulis: Solichan Arif