Bacaini.id, KEDIRI – Peristiwa G30S PKI tidak membuat Partai Komunis Indonesia (PKI) di wilayah Kediri Jawa Timur menjadi lumpuh seketika. Mereka masih bergerak sekaligus melawan, terutama kepada orang-orang Ansor dan Banser NU yang terang-terangan menyatakan permusuhan.
Pada 12 Oktober 1965 atau 12 hari pasca peristiwa 30 September 1965, orang-orang Ansor Banser NU Kediri yang sedang menggelar apel dan karnaval dengan bersenjata lengkap, tiba-tiba diserang. Insiden penyerangan cairan kimia oleh orang-orang PKI itu berlangsung di wilayah Burengan Kota Kediri.
“Tiba-tiba diserang oleh PKI di Burengan dengan berbagai senjata berbahaya seperti cairan kimia yang disemprotkan ke arah pawai Banser yang sedang bergerak dari arah Selatan menuju ke utara,” demikian dikutip dari buku Benturan NU-PKI 1948-1965 (2013).
Wilayah karesidenan Kediri merupakan basis PKI. Pada Pemilu 1955, PKI Kediri meraup dukungan suara tertinggi, yakni 457.000 suara. Perolehan suara PKI mengalahkan PNI, NU dan Masyumi.
Karena itu peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta tidak serta merta membuat para pimpinan, kader dan simpatisan PKI di daerah, khususnya Kediri dan sekitarnya menjadi lumpuh.
Serangan cairan kimia oleh orang-orang PKI di Burengan Kota Kediri sempat membuat orang-orang Ansor Banser kelabakan. Untungnya hembusan angin tiba-tiba berbalik ke arah Selatan dan mengenai orang-orang PKI sendiri.
Situasi sontak berubah mencekam. Gagal memakai semprotan cairan kimia, orang-orang PKI kemudian melempari Ansor Banser dengan batu. Mereka yang merangsek maju menyerang dengan bambu runcing dan senjata tajam.
Perang antara orang-orang PKI dengan Ansor Banser NU Kediri tidak terelakkan. Dalam waktu singkat, orang-orang PKI berhasil dilumpuhkan. Mereka ketakutan melihat banyaknya Banser yang tidak mempan senjata tajam (kebal).
Dalam bentrok itu kantor PKI di Kediri dibakar. “Kantor PKI Kediri yang kebetulan ada di sampingnya itu dibakar, sehingga anggota PKI berlarian ke desa lain”.
PKI pasca peristiwa 30 September 1965 terus mencoba bangkit. Para pimpinan, kader dan simpatisan yang lolos dari perburuan mencoba menghidupkan gerakan.
Wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah yang pada pemilu 1955 merupakan daerah basis, terpilih sebagai lokasi kebangkitan gerakan. Di Jawa Timur, gerakan kebangkitan dipusatkan di wilayah Blitar Selatan.
Sejumlah tokoh PKI berkumpul, yakni Oloan Hutapea, Rewang, Ruslan Wijaya, Mohammad Munir, Suwandi, Sukatno dan Iskandar Subekti. Mereka mengoordinasikan kegiatan organisasi secara nasional.
Sudisman, salah satu tokoh CC PKI menyusun konsep KOK (Kritik Oto Kritik) yang disebarkan melalui penerbitan gelap. Isinya, membangun kembali partai, Perjuangan Bersenjata (Perjuta) dan membentuk Front Persatuan Nasional.
Untuk menghidupkan taktik Desa Mengepung Kota, PKI kembali membentuk basis-basis di daerah minus, termasuk mendirikan sekolah perlawanan rakyat.
Dilansir dari buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar, PKI memakai jargon We are nowhere, but will be everywhere. Kita tidak ke mana-mana, tapi akan ada di mana-mana.
“Sudisman lewat satu buletinnya mengatakan, We are nowhere, but will be everywhere”.
PKI yang resmi dibubarkan dan sekaligus dinyatakan sebagai partai terlarang pada 12 Maret 1966, terbukti masih bergerak. Sebelum gerakan semakin membesar, pada 28 Mei 1968, TNI Angkatan Darat membentuk Komando Satuan Tugas Trisula.
Melalui operasi besar-besaran, gerakan kebangkitan PKI di Blitar Selatan dalam waktu singkat berhasil ditumpas.
Penulis: Solichan Arif