Saya seorang ibu yang memiliki dua anak, masing-masing berusia 6 tahun dan 1 tahun. Sejak lima bulan lalu saya bercerai dengan suami di Pengadilan Agama. Dalam proses tersebut belum ada penentuan hak asuh anak. Saat ini mereka tinggal bersama saya, sedangkan suami pulang ke rumah orang tuanya.
Terus terang saya merasa was-was kalau suatu saat suami saya berusaha mengambil anak-anak. Apalagi dia sering menjenguk anak-anak ke rumah. Mohon pencerahan tentang hal ini?
Ibu Yuni di Sidoarjo
Jawaban:
Salam Ibu Yuni. Hak asuh anak sebenarnya menjadi kewajiban bersama meskipun antara bapak ibu sudah berpisah. Sedangkan proses pengajuan hak asuh anak muncul ketika antara orang tua (suami isteri) terjadi perceraian, atau akan terjadi perceraian.
Mengingat perceraian Ibu Yuni diputus oleh pengadilan agama, maka pengajuan hak asuh anak juga dilakukan di pengadilan agama.
Mengacu Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 41, disebutkan bahwa kedua orangtua memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara dan mendidik anaknya. Jika kedua orangtua tidak melayangkan gugatan cerai, maka secara otomatis pembahasan hak asuh anak ditiadakan. Munculnya hak asuh anak ketika proses cerai atau setelah orang tuanya bercerai.
Setelah perkawinan putus, terkadang muncul keinginan dari salah satu orang tua, baik ibu maupun bapak untuk mendapatkan legalitas atas hak asuh anaknya. Maka dalam perkara tersebut salah satu pihak dapat mengajukan penetapan atau gugatan di pengadilan agama.
Aturan terkait pemegang hak asuh anak dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengacu Pasal 105 KHI, pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun merupakan hak ibunya. Saat anak tersebut berusia 12 tahun, dia akan memilih ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuhnya.
Selain itu, hak asuh juga ditegaskan dalam pasal 156 huruf (a) dan (b) Kompilasi hukum Islam yang berbunyi :
- Anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia;
- Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
Berdasarkan ketentuan kompilasi hukum Islam (KHI), terlihat bahwa Islam menekankan hak asuh anak kepada ibunya. Dimana pertimbangannya adalah rasa kasih sayang dan lemah lembut seorang ibu lebih cocok dibanding dengan keadaan ayah. Disamping secara kodrati ibu lebih cocok menjadi pemimpin dan pendidik anak di rumah, dari pada ayah yang notabene lebih banyak kerja di luar rumah.
Meskipun aturan untuk anak yang belum mumayiz lebih condong ke ibunya, namun kadang kali putusan pengadilan dengan mempertimbangkan fakta-fakta persidangan bisa jatuh ke tangan ayahnya. Tentunya sesuai dengan aturan perundangan yang berlaku dan ada sebab musababnya hak asuh seorang ibu kepada anaknya.
Mahkamah Agung RI No. 102 K/ Sip/ 1973 tanggal 24 April 1975 menyatakan, “Berdasarkan yurisprudensi mengenai perwalian anak, patokannya ialah bahwa ibu kandung yang diutamakan, khususnya bagi anak-anak yang masih kecil, karena kepentingan anak yang menjadi kriterium, kecuali jika terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar dalam memelihara anaknya.
Hal ini dikuatkan juga dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 102 K/Sip/1973 yang menyatakan perwalian anak akan jatuh ke ibu, kecuali jika terbukti bahwa ibu tersebut tak wajar dalam memelihara anaknya. Adapun kriteria tidak wajar diantaranya:
- Ibu memiliki perilaku yang buruk
- Ibu masuk dalam penjara
- Ibu tidak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anaknya.
Demikian penjelasan dari kami mudah-mudahan bermanfaat. Untuk lebih jelas Ibu Yuni bisa menghubungi redaksi bacaini.id.